Sumber: Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I. Ilustrasi: Micha Rainer Pali
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
KESULTANAN Aceh
belum lama berdiri ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511.
Kesultanan ini secara bertahap menjadi kuat di semenanjung Sumatra pada
paruh pertama abad ke-16. Kala itu, lada Sumatra laku keras di pasaran
Tiongkok dan Eropa. Hubungan dengan pedagang dari pesisir laut merah pun
segera terjalin. Ini membawa keuntungan bagi Kesultanan Aceh.
Portugis melihat itu sebagai ancaman,
sementara sultan-sultan Aceh menilai Portugis sebagai lawan. Perang pun
tak terelakkan. Aceh menyerang Malaka pada 1537, 1547, 1567, 1574, dan
1629. Dalam peperangan itu, Aceh menyertakan armada perempuan. Orang
Portugis agak canggung dibuatnya. Tapi, tak ada pilihan: mereka harus
berperang melawan para perempuan. Inilah tilas mula keperkasaan
perempuan Aceh.
Kesertaan perempuan Aceh ditemukan dalam
perang tahun 1567 walau belum berhimpun dalam kesatuan khusus. Jennifer
Dudley, mahasiswi doktoral Universitas Murdoch, menyebut
perempuan-perempuan itu bergabung ke dalam pasukan Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar. “Mereka menemani suaminya berperang, sementara
sisanya adalah janda atau tunangan dari prajurit yang gugur dalam perang
sebelumnya,” tulis Dudley dalam “Of Warrior Women, Emancipiest
Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers.”