Senin, 06 Februari 2012

TAMBOKOTO - "Permesta Bukan Pemberontakan"


Gerbang gubernuran di Kota Makassar terbuka lebih lebar hari itu,
menyambut para tamu yang datang dari jauh dan dekat. Andi Pangerang
Petta Rani berdiri di ambang pintu, menyambut rombongan dengan sangat
ramah-tamah, kendati ia tahu pertemuan itu akan lebih merupakan sidang
yang makan urat saraf ketimbang silaturahmi bahagia.
Sekitar 51 tokoh Perjuangan Semesta (Permesta) yang datang
kemudian berunding selama tiga jam di kediaman Gubernur Sulawesi Andi
Pangerang. Pada akhir pertemuan, mereka menandatangani Piagam
Perdjoangan Semesta dalam Wilajah IT-VII Wirabuana. Dan Herman Nicolas
"Ventje" Sumual, penanda tangan pertama, lantas membacakan ikrar
bersama, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Permesta.
Dengan membacakan ikrar, Ventje saat itu sesungguhnya tengah
menuliskan bab yang penting dalam sejarah negeri leluhurnya. Deklarasi
yang ditujukan ke alamat pemerintah pusat itu mengandung dua tuntutan
penting: otonomi seluas-luasnya kepada daerah dan penghapusan sifat
sentralisasi dari sistem pemerintahan politik nasional. Maka, lahirlah
Permesta, pada hari itu, 2 Maret 1957. Sejarah kemudian mencatat,
Permesta, yang mula-mula hanya sebuah deklarasi perjuangan, akhirnya
berbuntut pada pemberontakan. Mengapa?
Herman Nicolas Sumual alias Ventje adalah orang yang paling tepat
untuk menjawab pertanyaan ini. Ia bukan saja seorang pejuang tangguh,
melainkan juga terlibat secara emosiserta fisik dalam seluruh proses
panjang—sejak ide gerakan dicetuskan hingga akhir yang antiklimaks.
Gerakan itu ditumpas TNI, sedangkan Ventje bersama kawan-kawannya harus
membayar keterlibatan mereka dengan harga sepadan: masuk penjara. Ventje
lahir di Rembokan, Minahasa, 11 Juni 1922. Sebagai anak seorang sersan
KNIL (serdadu Belanda), Ventje pernah belajar di Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (1946-1948),Yogyakarta. Sembari kuliah, ia aktif
sebagai perwira penghubung Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
dan diangkat menjadi Kepala Staf Brigade XVI dengan pangkat mayor. Ia
memimpin satuan-satuan KRIS dalam perjuangan menangkis serangan Belanda
di Yogyakarta pada Januari 1949. Setahun kemudian, ia menjadi anggota
Komisi Militer untuk Indonesia Timur dengan tanggung jawab wilayah
Sulawesi Utara.
Pada Mei 1956 ia menjabat Kepala Staf Tentara Teritorium (TT) VII.
Setelah tiga bulan, Ventje dilantik menjadi Komandan TT VII Indonesia
Timur dengan pangkat kolonel. Pada 2 Maret 1957, ia mengumumkan SOB
(staat van oorlog en beleg, negara dalam keadaan bahaya) di Indonesia
Timur—sekaligus memproklamasikan Permesta.
Nama Permesta lantas digunakan oleh kalangan tertentu di Sulawesi
Utara yang bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Alhasil, PRRI dan Permesta sering ditulis sebagai suatu kesatuan
menjadi PRRI/Permesta. Penyatuan seperti ini ditolak Ventje. "Permesta bukan gerakan pemberontakan, melainkan suatu piagam perjuangan," ujarnya.
Kakek delapan cucu ini memimpin pemerintahan militer yang dibentuk
Permesta. Kegiatan itu membuat Ventje dipecat dari TNI pada 26 Februari
1958. Sejak itu, ia pun semakin memusatkan kegiatannya dalam pergolakan.
Dari 1958-1961, Ventje berjuang bersama pasukan PRRI/Permesta di
Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Gerakan itu ternyata tidak bertahan
lama.
Pada 20 Oktober 1961 ia menyerah kepada pemerintah pusat dan masuk
karantina serta tahanan militer selama lima tahun. Lepas dari bui,
Ventje banting setir menjadi orang swasta. Ia mendirikan PT Konsultasi
Pembangunan, yang bergerak di bidang perkayuan. Bekas tentara ini
mendapat hak pengelolaan hutan seluas 100 ribu hektare di Maluku. Ada
yang unik dari perusahaan itu: mempekerjakan sejumlah orang yang pernah
terlibat PRRI/Permesta. Ventje
sebagai presiden direktur, Kolonel Simbolon sebagai presiden komisaris,
Ahmad Husein sebagai direktur, adapun para bekas anggota pasukan menjadi
staf.
Kini, dalam usia 77 tahun, pendengaran dan daya ingat ayah empat anak
ini tetap cemerlang. Setiap detail peristiwa tersimpan rapi dalam kotak
memorinya, sedangkan rambutnya sudah memutih perak. Staminanya terjaga
baik. Maklum, sampai hari ini Ventje masih lari pagi dengan semangat
seorang tentara. "Ini olahraga murah dan sehat," katanya.
Pekan lalu, wartawan TEMPO Setiyardi dan fotografer Fernandez
Hutagalung menemui Ventje di kantornya, di kawasan Jatinegara, Jakarta
Timur.


Petikannya:
Apa sebetulnya yang melahirkan Permesta?
UUD Sementara 1950 menegaskan otonomi seluas-luasnya bagi daerah dan
pengakuan hak asasi manusia. Namun, hal itu tidak pernah dilaksanakan.
Jadi, telah terjadi pelanggaran konstitusi.
Jadi, bukan karena alasan kepincangan ekonomi pusat-daerah?
Itu hanya soal manajemen. Ada manusia yang menyusun dan menjalankannya
dan menentukan maju-tidaknya perekonomian suatu negara. Untuk meluruskan
soal otonomi dan manajemen ekonomi, apa perlunya memberontak?
Ini yang sejak dulu ingin saya luruskan. Permesta bukan
pemberontakan, melainkan suatu deklarasi politik. Isinya seperti yang
diperjuangkan gerakan reformasi sekarang ini. Dulu, gerakan reformasi
kami sebut sebagai Permesta.
Lantas, mengapa PRRI/Permesta begitu populer sebagai "duet" pemberontak? Itulah, mengapa harus menggabungkan PRRI/Permesta? Mengapa tidak
PRRI/Dewan Banteng? Atau PRRI/Dewan Gajah? Pemerintah seperti ingin
menciptakan citra tertentu yang negatif terhadap gerakan Permesta.
Lo, kalau bukan PRRI/Permesta, siapa yang memberontak pada 1957-1961 itu?
Unit-unit TNI dan perwira yang banyak berjasa dalam pembentukan TNI dan
mempertahankan proklamasi, seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli
Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Warouw, Kolonel A.E. Kawilarang.
Dari tokoh sipil ada Mr. Asaat, Mohamad Natsir, Burhanuddin Harahap,
Sumitro Djojohadikusumo, dan Syafrudin Prawiranegara. Contoh unit TNI
yang ikut PRRI adalah Daerah Militer Sumatra Tengah dan Daerah Militer
Sumatra Utara.
Jadi, bagaimana bentuk hubungan PRRI-Permesta?
Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan. Tapi
Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur.
Pemerintah yang kemudian ingin memecah belah. Jadi, seolah-olah ada dua
pemberontakan, PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi.
Anda ikut Deklarasi Palembang pada Januari 1957. Bukankah hal itu menunjukkan hubungan yang kuat antara PRRI dan Permesta?
Yang ikut Deklarasi Palembang adalah unit-unit TNI. Tidak ada urusannya
dengan masyarakat umum. Lagipula, ketika itu UUD-nya bersifat sementara
(UUDS 1950), hingga segala sesuatu bisa berubah. Sebagai Angkatan 45,
kami merasa harus mengambil sikap atas keadaan yang berkembang.
Bukankah Barbara Silars Harvey dari Cornell University, yang menulis
Permesta sebagai tesis doktornya, menyebut gerakan tersebut a half
rebellion, pemberontakan setengah hati?

Saya sudah membaca tulisan itu. Isinya kurang akurat. Dia menyebut
Permesta sebagai Perjuangan Semesta Alam. Padahal, Permesta adalah
Piagam Perjuangan Semesta, tanpa ada kata alam.
Apa tanggapan pemerintah setelah Permesta dideklarasikan?
Pak Nasution (KSAD) dan Pak Yani sebetulnya setuju dengan Permesta.
Sekitar Mei 1957, keduanya datang ke Makassar.
"Saya setuju dengan isi Permesta. Ini untuk kepentingan prajurit,
tapi tidak usah berpolitik," kata Pak Nasution.
Kalau gerakan Permesta bukan pemberontakan, lalu wewenang apa yang Anda
gunakan untuk mendeklarasikannya atas nama Indonesia Timur?

Undang-undang yang ada memungkinkan panglima teritorial menyatakan
keadaan darurat perang. Saat itu kita masih menggunakan SOB buatan
Belanda. Nah, melihat situasi yang ada, saya lalu menyatakan Indonesia
Timur dalam keadaan darurat perang.
Situasi seperti apa itu?
Di luar masalah ekonomi, daerah-daerah di Indonesia Timur mulai
menyatakan ingin berdiri sendiri. Di Sulawesi Selatan ada Dewan
Hasanudin, di Maluku ada dewan serupa. Daripada berdiri sendiri, semua
saya ambil alih dan Permesta sebagai simbol perjuangan. Kemudian, saya
menyelenggarakan kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar. Wakil dari
semua kabupaten di empat provinsi Indonesia Timur hadir sekaligus
menyatakan dukungan terhadap Permesta.
Beberapa publikasi sejarah menyebut bantuan Amerika untuk Permesta. Seberapa besar bantuan itu?
Omong kosong! Mereka tidak membantu Permesta, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingannya sendiri. Setelah terbukti bahwa Jakarta masih kuat
dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani bukanlah komunis,
mereka meninggalkan kami begitu saja. Tujuan mereka, kan, mencegah blok
komunis makin berkuasa di dunia.
Lo, bukankah Permesta juga antikomunis? Jadi, mengapa Amerika harus
pergi bila alasannya adalah soal komunis?

Ini sebetulnya pilihan politik. Setelah tahu bahwa jenderal-jenderal di
pusat ternyata punya sikap antikomunis yang kuat, Amerika lebih memilih
berpihak ke Jakarta ketimbang daerah.
Jadi, Anda sadar kalau ditunggangi Amerika?
Sadar sekali. Tapi itu hal biasa dalam politik. Rasanya, tidak jauh beda
ketika blok komunis menunggangi kita ketika Indonesia mau merebut
Irianjaya. Yang penting, kan, kita mendapat senjata untuk Operasi
Mandala. Tapi, dalam kasus Permesta, saya tidak merasa telah menjual
diri ke Amerika.
Seberapa besar rasa kecewa Anda terhadap Amerika?
Saya sadar, ini bukan perjuangan mereka. Memang, kalau mereka tidak
pergi, saya yakin kami akan berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami
akan menghabiskan waktu sekitar dua bulan untuk menguasai seluruh
Indonesia.
Bagaimana caranya?
Jakarta adalah titik kunci. Setelah menguasai Banjarmasin, sebetulnya
mudah saja untuk menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah lapangan
terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di
Tanjungpriok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan
lumpuh.
Tampaknya, Anda begitu yakin dengan kekuatan Permesta?
Bagaimana tidak? Saat mendarat di Morotai, Maluku, saya tidak mendapat
perlawanan. Sewaktu mendarat di Banjarmasin, kami juga tidak mendapat
perlawanan.
Masa, TNI akan diam saja kalau Anda mendarat di Jakarta?
Pasukan Siliwangi tidak akan menembak kami. Mereka juga antikomunis.
Lagi pula, orang-orang Siliwangi adalah teman saya. Tahun 1956 kami
melakukan reuni Korps Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di
Bandung. Salah satu keputusan reuni, bila terjadi "apa-apa", kami tidak akan saling menembak.
Mengapa sampai ada kesepakatan itu?
Saat itu kami sudah bisa melihat kondisi ke depan akan gawat.
Ada yang tidak konsisten dengan penjelasan Anda tentang Permesta:
menolak cap pemberontak tapi mengerahkan tentara untuk menguasai wilayah. Apa itu bukan pemberontakan?
Tuntutan yang kami ajukan ke pemerintah pusat dijawab dengan bom di
Ambon. Dan kami menegaskan, kalau Kabinet Djuanda (1957-1959) tidak
dibubarkan, kami tidak akan menaati pemerintah pusat lagi. Menurut kami,
kabinet itu dibentuk secara inkonstitusional.
Tapi hasilnya adalah ironi: Anda melawan hal yang inkonstitusional
dengan cara yang juga tidak konstitusional.
Keadaan mengharuskan kami melakukan perlawanan. Sebagai prajurit
pejuang, kami tidak bisa berpangku tangan melihat keadaan yang ada. PKI
ketika itu mulai membesar. Bung Karno membentuk Dewan Nasional, yang
salah satu kakinya adalah komunis.
Permesta berakhir dengan antiklimaks ini: gagal dan Anda sekalian dicap
pemberontak. Bagaimana perasaan Anda?

Saya pribadi tidak pernah menyesal disebut pemberontak. Kami,
orang-orang yang ikut mempertahankan republik ini, tidak rela kalau
negara kita tidak terurus. Orang seperti Pak Syafrudin
Prawiranegara—presiden PRRI—bukan anak kemarin sore yang mau
ikut-ikutan. Pasti beliau memiliki pertimbangan matang.
Kalau semua rencana berjalan menurut skenario, apa yang akan terjadi?
Kami tidak akan mengganti Bung Karno. Kami hanya menuntut ada kabinet
baru di bawah pimpinan Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX. Selain
itu, kami ingin komunisme dihapus dari Indonesia. Kalau saja usaha
PRRI/Permesta berhasil, pemberontakan PKI pada 1965 tidak akan terjadi.
Jadi, Permesta gagal?
Di atas kertas, ya. Semua sudah disusun dengan baik. Tiba-tiba Allen Pope—anggota angkatan udara Amerika yang membantu PRRI/Permesta—tertembak jatuh di Ambon. Maka, Amerika pun angkat kaki begitu saja.
Sebetulnya, bagaimana proses pendekatan dengan Amerika?
Mereka yang menghubungi kami. Saya dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo
berunding dengan pihak Amerika, yang diwakili Kolonel Collin.
Perundingan berlangsung di Singapura sekitar tahun 1957. Kolonel Collin
ini memang menyembunyikan informasi terhadap George Benson, asisten
khusus duta besar AS (1962-1965) untuk Indonesia. Maka, si Benson jadi
tidak tahu apa-apa perihal dukungan Amerika.
Setelah Permesta kalah, Anda langsung ikut dalam "apel penyerahan diri", yang disaksikan Jenderal Nasution dan Jenderal Yani?
Sampai saat apel, saya tetap tidak mau ikut menyerah. Sekitar 50 ribu
anggota saya sudah menyerah. Saya menunggu perintah dari Pak Syafrudin
Prawiranegara. Saat itu saya ada di hutan. Padahal, hampir semua pasukan
sudah ikut apel.
Benarkah Jenderal Nasution menemui Anda secara pribadi?
Tidak benar. Saya yang menemui Pak Nas di rumahnya di Jakarta. Saya
melapor dan menyerah tanpa syarat, diantar oleh Pak Sunandar.
Dan Anda mengaku memberontak?
Ya, saya mengaku. Tapi saya memberontak terhadap kezaliman. Dan perlu
saya tegaskan lagi: saya tidak pernah menyesal pernah jadi pemberontak.
Apakah Pak Nas marah?
Tidak. Ia hanya mengatakan, saya dan kawan-kawan harus masuk karantina.
Saya dikarantina di Cipayung, Pak Simbolon di Malang, Pak Syafrudin
Prawiranegara di Blora. Karena PKI makin lama makin kuat dan Bung Karno
akan melakukan konfrontasi dengan Malaysia, akhirnya kami semua
dimasukkan ke rumah tahanan militer di Setiabudi, Jakarta.
Mengapa Anda dan kawan-kawan ditahan, sementara Kolonel A.E. Kawilarang
direhabilitasi namanya oleh Bung Karno?

Bung Karno seperti tidak peduli pada orang seperti kami. "Revolusi belum selesai dan tuan-tuan ini adalah penghalang roda revolusi," kata Bung Karno kepada kami. Dan kami kemudian ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ini suatu kesewenang-wenangan.
Barangkali penahanan itu ada kaitannya dengan peristiwa granat di
Cikini, yang ingin menghabisi Bung Karno?

Isu itu memang sengaja diembuskan orang-orang komunis. Kami orang-orang
daerah yang dituduh, padahal kami sangat menghargai Bung Karno.
Bagaimana pengalaman dalam karantina?
Kesedihan sebagai pejuang yang dikarantina tidak bisa dimungkiri,
kendati kita tinggal di bungalow di Cipayung. Namun, Pak Yani selalu
berusaha memberi semangat, "Ini cuma soal politik. Kalau hari ini tidak punya harga, siapa tahu besok harganya naik tiga kali lipat," kata Pak Yani kepada saya. Tatkala saya masuk tahanan militer, 1963-1966, Pak
Yani tidak pula meninggalkan kami. "Tunggu saja waktunya," begitu ujarnya, sering-sering.
Antara 1963 dan 1966 Anda harus pindah dari bungalow Cipayung ke tahanan militer Setiabudi. Mengapa?
Kami harus masuk sel pada saat Komando Dwikora yang ingin mengganyang
Malaysia dikumandangkan. Mungkin pihak Angkatan Darat merasa tidak
sanggup bila harus mengawasi kami. Selain itu, desakan kaum komunis
makin kuat. Saya, Simbolon, Ahmad Husein, Syafrudin Prawiranegara, Mr.
Asaat, dan Anak Agung Gede Agung tinggal di blok yang sama. Pada 1965,
kami pun harus satu tahanan dengan orang-orang PKI yang sangat kami tentang.
Ironis betul?
Memang ironis. Namun, saya katakan kepada kawan-kawan, sebaiknya kita
tidak mempersoalkan sebab-sebab penahanan mereka. Karena, saat berada
dalam satu tahanan, berarti kita satu nasib.
Anda dibebaskan hanya sehari setelah Pak Harto jadi presiden. Bagaimana prosesnya?
Pada 26 Juli 1966, seorang jaksa bernama Adnan Buyung Nasution datang ke
rumah tahanan. Buyung membacakan surat pembebasan kami.
Apakah Pak Harto pernah menghubungi Anda sebelum itu?
Ali Moertopo, asisten Pak Harto, sering menghubungi kami di tahanan. Dia
mencari orang berpengalaman tapi harus antikomunis. Maka, begitu jadi
presiden, Pak Harto langsung membebaskan kami. Pihak keluarga pun tidak
tahu. Sewaktu keluarga saya berkunjung, polisi militer yang menjaga di
depan tahanan mengatakan agar keluarga membawa saya pulang. Itu
betul-betul kejutan, ha-ha-ha....
Bukankah Anda dan Pak Harto kenalan lama
Benar. Saya jadi anak buahnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
(NB: saat itu Ventje Sumual sebagai Komandan SWK-103A/WK-III,
sedangkan Presiden Soeharto sebagai Komandan SWK-103C/WK-III di Jogjakarta)

Benarkah Pak Harto terlalu membesarkan jasanya dalam peristiwa tersebut?
Itu tidak benar.
Bahwa selama 32 tahun ia berkuasa ada penyimpangan, itu soal lain. Tapi ia memiliki kemampuan.
Apakah Pak Harto kemudian membantu kehidupan Anda?
Persoalan tidak selesai begitu saja. Selama setahun, masing-masing kami
harus mencari hidup sendiri. Kemudian saya ditugasi ke luar negeri
bersama Pak Ali Moertopo, Yoga Soegama, Benny Moerdani, untuk ke Bangkok
menyiapkan pembentukan ASEAN.
Apakah Anda dipilih karena punya hubungan dengan Sekjen SEATO (Organisasi Pertahanan Asia Tenggara)?
Saya memang sebelumnya sudah kenal Sekjen SEATO, Jenderal Targas, di
Filipina. Ketika itu, pembentukan ASEAN hampir gagal karena Filipina
menolak kesepakatan soal pangkalan asing yang bersifat temporer.
Untunglah, karena saya kenal Jenderal Targas itu, dia bisa memberi
masukan kepada Ferdinand Marcos agar setuju dengan prinsip temporer
untuk pangkalan asing.**
(Tempo).

Sumber: http://www.khatulistiwamgz.com/Jan/wawancara.htm



 

Tidak ada komentar:

leave comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange

5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.

Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan vasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.

Me

Posting Komentar

Sumber: http://eltelu.blogspot.com/2013/02/cara-menambahkan-widget-baru-di-sebelah.html#ixzz2O8AYOBCu