Minggu, 05 Februari 2012

TAMBOKOTO - PDRI: Mengapa Jarang Disebut?



PDRI: Mengapa Jarang Disebut?
(Ahmad Syafii Maarif)
Selama enam bulan 21 hari (22 Desember 1948 s/d 13 Juli 1949), pusat pemerintahan Republik Indonesia dialihkan ke tangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang semula sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta. Seperti kita ketahui bahwa pada 19 Desember 1948, Jogjakarta diduduki tentara Belanda, Soekarno-Hatta menyerah, sebuah kejadian sejarah yang sangat menghina dan berbahaya pada waktu itu. Bayangkan Soekarno-Hatta terpaksa mengibarkan bendera putih tanda menyerah kepada Belanda di Istana Negara Jogjakarta pada tanggal di atas. Tiga hari kemudian para tawanan itu diasingkan Belanda ke Bangka dan ke Berastagi.
Tetapi, untungnya Kabinet Hatta masih sempat mengadakan sidang pada tanggal 19 itu dan memutuskan memberi mandat kepada Sjafruddin yang sejak November 1948 ada di Sumatra Barat untuk membentuk pemerintah darurat. Sejak tanggal itu kekuasaan pemerintahan telah berpindah ke tangan Sjafruddin sekalipun kawat mandat baru diterimanya berbulan-bulan kemudian. Mandat serupa juga dikirimkan kepada Dr Soedarsono, LN Palar, dan AA Maramis, yang sedang berada di India agar mereka membentuk pemerintah pengasingan, sekiranya Sjaruddin gagal dalam usahanya.
Demikianlah pada 22 Desember 1948, Sjafruddin bersama tokoh-tokoh yang ada di Sumbar mengadakan rapat di Halaban dalam wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk membentuk PDRI. Kelompok Sumatra ini melakukan semuanya ini lebih didasarkan pada intuisi politik, sebab mandat belum sampai ketika itu. Kabinet Darurat ini terdiri dari Sjafruddin sebagai ketua, dibantu oleh T Moh Hasan, Moh Rasjid, Lukman Hakim, Mananti Sitompul, Indratjahja, dan Mardjono Danubroto. Kemudian kabinet PDRI dilengkapi dengan pejabat-pejabat penting lainnya: Letjen Soedirman (di Jawa), Kol AH Nasution (di Jawa), Kol Hidajat, Kol Nazir. Kol Soejono, dan Umar Said sebagai Kepala Kepolisian Negara. Bulan Maret 1949, setelah hubungan dengan Jawa semakin lancar, Kabinet PDRI disempurnakan lagi dengan memasukkan nama-nama besar, sementara ketuanya tetap di tangan Sjafruddin yang terus bergerilya di hutan-hutan Sumatra Barat.
Selain Halaban, negeri-negeri seperti Sumpur Kudus, Silantai, Tamparungo, Koto Tinggi, Bidar Alam, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah PDRI. Bidar Alam (Solok Selatan) adalah negeri yang terlama ditempati PDRI. Pemancar radio PDRI terdapat pula di Ranau (Sumsel), Tungkal (Riau), Bireun Takengon, Kutaraja, Tangse (Aceh), Rao (Pasaman), Siborong-borong (Tapanuli). Untuk Jawa kita mengenal pemancar Playan (Wonosari), Kulonprogo, dan di lereng Gunung Lawu. Negara-negara sahabat yang sangat berjasa membantu Indonesia pada masa genting itu ialah India dan Myanmar (dulu Burma). Dari Indialah, terutama, kegiatan-kegiatan PDRI dipancarkan ke seluruh penjuru dunia.
Selama bergerilya, PDRI banyak sekali mendapat kesulitan, maklumlah kondisi transportasi dan komunikasi amat sederhana dan senantiasa diincar Belanda. Tetapi, yang agak menimbulkan gesekan internal dengan Kelompok Bangka ialah Pernyataan Roem-Royen pada 7 April 1949. Mengapa yang melakukan perundingan adalah Kelompok Bangka yang tidak punya kekuasaan secara legal formal, bukan PDRI, pemerintah yang sah? Jenderal Soedirman juga mempertanyakan masalah ini. Kemudian, PDRI dalam rapatnya di Sumpur Kudus pada 16 Mei 1949 resmi menolak Pernyataan Roem-Royen itu, sekalipun kemudian mereka tidak membangkang, demi menjaga keutuhan bangsa dan negara. Roem adalah kolega Sjafruddin dalam Partai Masyumi, tetapi tertawan bersama Soekarno-Hatta dan lain-lain.
Basis kekuatan PDRI adalah menyatunya sipil dan militer dengan dukungan penuh dari rakyat jelata. Dengan kata lain, di Sumatra tidak dikenal istilah persoalan sipil-militer, seperti yang terdapat di Jawa. Soedirman jelas susah mengikuti cara-cara pemimpin sipil berdiplomasi menghadapi Belanda. Di Sumatra, keadaannya lain sama sekali. Militer di Sumatra tunduk sepenuhnya kepada PDRI, karena pemerintah darurat ini adalah gabungan kekuatan sipil dan militer.
Demikianlah setelah berlangsung sekian bulan PDRI memainkan peran kenegaraannya, akhirnya pada 13 Juli 1949, Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno (yang sudah bebas) di Jogjakarta. Pertanyaan yang masih tersisa tetap saja: mengapa PDRI yang begitu berjasa menyelamatkan eksistensi bangsa dan negara dalam kondisi yang serba sulit seakan-akan telah terlupakan, khususnya di kalangan generasi muda? .
Bidar Alam
Pasti sebagian besar pembaca tidak kenal nama ini, sebab ia hanyalah sebuah nagari kecil di Solok selatan. Seperti halnya Sumpur Kudus dan Koto Tinggi, Bidar Alam bahkan merupakan tempat yang terlama dijadikan pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, atau lebih populer dengan sebutan PDRI, pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
Seperti telah dimaklumi, Bung Karno dan Bung Hatta serta sebagian anggota kabinet Hatta telah ditawan Belanda di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 untuk kemudian diasingkan ke luar Jawa. Mengapa Bidar Alam yang dipilih? Pertimbangannya sederhana, yaitu dari segi keamanan dan logistik. Halaban, tempat pembentukan PDRI, jelas sangat rentan terhadap incaran dan serangan Belanda.
Maka, melalui perjalanan panjang yang sangat melelahkan, awal Januari 1949 rombongan PDRI sampailah di Bidar Alam, 20 km dari Padang Aro, ibu kota Kabupaten Solok Selatan yang baru dibentuk setahun yang lalu. Sekarang transportasi ke sana sudah lancar, tetapi pada waktu itu orang harus melalui jalan setapak atau dengan perahu melalui Sungai Sangir dengan menyongsong arusnya yang sangat deras. Itulah yang terjadi, dengan menggunakan tiga perahu Sjafruddin dengan rombongan sebanyak 39 orang yang datang dari Pulau Punjung, pada Januari 1949 mendarat di Bidar Alam, nagari yang sangat berjasa yang untuk sekian dasawarsa dilupakan begitu saja.
Jangankan Bidar Alam, Presiden Soekarno setelah dibebaskan dari tawanan Belanda dan kembali ke Yogyakarta, dalam Pidato 17 Agustus 1949, nama Sjafruddin dan PDRI pun tidak disebut sama sekali, padahal Sjafruddin baru sebulan lebih sedikit menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta, yaitu pada 13 Juli 1949. Ternyata memang tidak mudah bagi seorang pemimpin menghargai jasa orang, yang tidak lain adalah tokoh yang pernah diberinya mandat untuk meneruskan perjuangan. Sejarah Indonesia modern juga memuat kejadian-kejadian yang menggelikan, sekalipun secara moral susah sekali dicerna.
Apakah ini memang bagian dari sikap penguasa yang tidak mau berbagi popularitas dengan orang lain? Saya tidak tahu apakah memang begini konstruk mental sebagian pemimpin kita. Jika memang begitu, jangan terlalu berharap banyak bahwa demokrasi akan tumbuh subur di negeri ini. Kembali kepada alur cerita tentang perahu. Terlihat di sini betapa setianya juru kemudi kendaraan air itu mendayung perahunya, demi melindungi pemimpin yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Nagari ini dengan penduduk sekitar 3.000 jiwa pada waktu itu (sekarang hanya 4.000 jiwa karena banyak yang merantau) adalah kawasan makmur dengan hasil-hasil hutannya, terutama karet rakyat. Dengan demikian, logistik tidak terlalu menjadi masalah, sebab rakyat yang sedang demam kemerdekaan sudah tidak rela negerinya dijajah kembali. PDRI bagi mereka adalah juru selamat itu, dan karena itu mereka akan mengorbankan apa saja, demi bangsa dan negara. Jangan dikira rakyat jelata tidak mau berkorban, bahkan mungkin yang terjadi sebaliknya, pemimpin yang sering mengorbankan rakyat.
Salah seorang yang menyambut rombongan adalah Djam’an yang sempat saya temui di sana pada saat HUT ke-56 PDRI, pada 6-7 Januari 2005, sekalipun sebenarnya kelahiran PDRI adalah 22 Desember, seperti tersebut di atas. Djam’an yang kemudian juga bertindak sebagai salah seorang komandan pasukan pengawal PDRI, adalah di antara anak bangsa yang berjasa pada saat-saat yang sangat sulit dan berbahaya itu. Dalam usia yang sudah sepuh, Djam’an dan mereka yang masih hidup tentu boleh bangga, karena pada akhirnya PDRI berhasil mematahkan ocehan dan halusinasi Belanda bahwa Republik Indonesia yang baru berusia sekitar tiga tahun itu akan segera tamat riwayatnya, karena pemimpin puncaknya telah ditawan.
Tentara Belanda memang tidak pernah menginjakkan kakinya di Bidar Alam, nagari kecil yang tersuruk itu. Paling-paling mereka sampai di Muara Labuh, atau terjun payung sebentar di Padang Aro, kemudian hengkang ke Kurinci. Saya tidak tahu siapa yang mengatur strategi perjuangan sehingga Bidar Alam bertahan menjadi pusat perjuangan selama beberapa bulan, tanpa terobosan musuh.
(Sumber: Resonansi Republika OnLine)

Tidak ada komentar:

leave comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Pastikan untuk klik "Berlangganan Lewat Email" untuk membangun kreatifitas blog ini
3. Jika Anda memiliki masalah cek dulu komentar, mungkin Anda akan menemukan solusi di sana.
4. Jangan Tambah Link ke tubuh komentar Anda karena saya memakai system link exchange

5. Dilarang menyebarluaskan artikel tanpa persetujuan dari saya.

Bila anda senang dengan artikel ini silahkan Join To Blog atau berlangganan geratis Artikel dari blog ini. Pergunakan vasilitas diatas untuk mempermudah anda. Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.

Me

Posting Komentar

Sumber: http://eltelu.blogspot.com/2013/02/cara-menambahkan-widget-baru-di-sebelah.html#ixzz2O8AYOBCu