Selasa, 31 Desember 2013

REFLEKSI 2013: DARI DEMOKRASI PROSEDURAL KE SUBSTANSIAL

SUARA MERDEKA – Minggu, 29 Desember 2013
  • Oleh Zaini Bisri
  • TAHUN 2013 sebentar lagi kita tinggalkan. Kasus terakhir yang sedang menjadi perhatian publik di negeri ini adalah proses hukum terhadap Gubernur Ban­ten Ratu Atut Chosiyah, tersangka suap terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Moch­tar, dalam sengketa Pilka­da Lebak dan kasus ko­rupsi alat kesehatan di Banten.
    Artinya, korupsi tetap mendominasi wacana publik hingga penghujung tahun. Subjek­nya adalah kepala daerah. Se­bagai pe­rempuan gubernur per­tama diIndonesia, Ratu Atut sekaligus menjadi perempuan gubernur pertama yang ter­sangkut ma­salah hukum. Dia simbol da­ri sebuah dinasti ke­kuasaan di era demokrasi dan juga bagian dari salah satu kekuatan politik di negeri ini, yaitu Partai Golkar.
    Kasus Atut melengkapi daftar 311 kepala daerah yang terjerat korupsi baik sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung digelar kali pertama pada 2005.
    Data tersebut membuktikan ke­benaran sinyalemen bahwa tran­sisi menuju pemilihan umum secara demokratis itu mu­dah. Banyak negara yang men­catat kisah sukses. Na­mun, konsolidasi demokrasi ada­lah sesuatu yang sulit. Ba­nyak ne­gara demokrasi baru yang tidak berhasil dalam pe­ne­gakan hu­kum (rule of law). Itulah yang di­nyatakan Francis Fu­kuyama da­lam artikel ”Tran­si­tions to the Rule of Law” (Jour­nal of Demo­cracy, Januari 2010).
    Kesimpulan Fukuyama, guru besar ilmu politik yang terkenal lewat bukunya The End of His­to­ry and the Last Man (1992), tam­paknya berlaku juga bagi Indonesia.
    Problem utama konsolidasi demokrasi di negeri ini adalah penegakan hukum. Ka­re­na itu, Indonesia sering di­gam­barkan sebagai ”negara de­mokrasi tanpa hukum”.
    Ketiadaan penegakan hu­kum membuat rakyat hidup se­maunya. Tidak ada tertibsosial. Norma dan etika diabaikan. Li­hat­lah lalu lintas di jalan raya se­bagai cermin kehidupan sosial. Undang-undang mengatur bah­wa kendaraan yang berja­lan lebih lambat mengambil ja­lur kiri.
    Namun, lihatlah, truk-truk dan sepeda motor yang ber­jalan di jalur tengah atau ka­nan. Bila diingatkan, mereka bu­kannya berterima kasih tapi cenderung melawan (Jawa: mokong).
    Hilang Kepercayaan
    Suasana kehidupan sehari-hari di negeri ini cenderung men­cerminkan suatu tatanan tan­pa aturan dan pemimpin. Se­tiap orang merasa memiliki ke­bebasan untuk bertindak tanpa memedulikan aturan dan etika. Pengendara mobil selalu di­anggap lebih kaya dan berpendidikan.
    Tapi, di banyak loket jalan tol, kita saksikan pengendara mobil seenaknya membuang karcis tol ke jalan.
    Di negeri seperti Inggris, negara dengan sedikit hukum tertulis, orang yang melanggar hukum (tertulis atau konvensi) akan merasa malu karena bakal dicap sebagai insan yang tidak beradab. Di negeri ini, orang cenderung bangga kalau bisa melanggar hukum.
    Sebagian besar penyebab timbulnya tatanan mobocracy (de­mokrasi gerombolan) ini ada­lah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap elite politik. Rak­yat kehilangan figur yang bisa diteladani.
    Di lain pihak, rak­yat juga ma­sih bersikap am­bivalen terhadap pelanggar hu­kum. Kan­didat kepala daerah yang main politik uang tetap di­pilih, karena mereka tahu calon lain belum tentu bisa dipercaya.
    Salahkah sistem pilkada lang­sung? Itulah kesimpulan ter­buru-buru Kementerian Da­lam Negeri, sehingga mengajukan usulan pilkada melalui DPRD dalam RUU Pilkada.
    Se­jatinya, bukan sistemnya yang salah, akan tetapi sistem itu diciptakan tanpa jaminan penegakan hu­kum. Terhukum da­lam sengketa pilkada selalu ha­nya me­nyang­kut person atau mekanisme teknis, bukan lembaga politik.
    Selama pilkada dibiarkan tan­pa dasar hukum yang kuat dan aplikatif, maka pemilu ke­pala daerah hanya perhelatan demo­krasi prosedural yang ti­dak menjamin kualitas kepala daerah.
    Saatnya semua orang ber­pikir untuk memperbaiki proses pemilihan pemimpin yang fair, sehingga tercipta demo­krasi yang substansial.
    Demokrasi substansial menilik pemilu dari sisi prosesnya, bukan hasil. Proses yang mam­pu melahirkan pemimpin mela­yani, bukan yang sekadar me­ngejar kekuasaan. Dalam istilah Max Weber, pemimpin yang will to serve, bukan will to po­wer. Perbaikan proses ini penting menghadapi 2014 sebagai tahun politik. (87)
Sumber: http://eltelu.blogspot.com/2013/02/cara-menambahkan-widget-baru-di-sebelah.html#ixzz2O8AYOBCu