SUARA MERDEKA – Minggu, 29 Desember 2013
- Oleh A Zaini Bisri
- TAHUN 2013 sebentar lagi kita tinggalkan. Kasus terakhir yang sedang menjadi perhatian publik di negeri ini adalah proses hukum terhadap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, tersangka suap terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dalam sengketa Pilkada Lebak dan kasus korupsi alat kesehatan di Banten.Artinya, korupsi tetap mendominasi wacana publik hingga penghujung tahun. Subjeknya adalah kepala daerah. Sebagai perempuan gubernur pertama diIndonesia, Ratu Atut sekaligus menjadi perempuan gubernur pertama yang tersangkut masalah hukum. Dia simbol dari sebuah dinasti kekuasaan di era demokrasi dan juga bagian dari salah satu kekuatan politik di negeri ini, yaitu Partai Golkar.Kasus Atut melengkapi daftar 311 kepala daerah yang terjerat korupsi baik sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung digelar kali pertama pada 2005.Data tersebut membuktikan kebenaran sinyalemen bahwa transisi menuju pemilihan umum secara demokratis itu mudah. Banyak negara yang mencatat kisah sukses. Namun, konsolidasi demokrasi adalah sesuatu yang sulit. Banyak negara demokrasi baru yang tidak berhasil dalam penegakan hukum (rule of law). Itulah yang dinyatakan Francis Fukuyama dalam artikel ”Transitions to the Rule of Law” (Journal of Democracy, Januari 2010).Kesimpulan Fukuyama, guru besar ilmu politik yang terkenal lewat bukunya The End of History and the Last Man (1992), tampaknya berlaku juga bagi Indonesia.Problem utama konsolidasi demokrasi di negeri ini adalah penegakan hukum. Karena itu, Indonesia sering digambarkan sebagai ”negara demokrasi tanpa hukum”.Ketiadaan penegakan hukum membuat rakyat hidup semaunya. Tidak ada tertibsosial. Norma dan etika diabaikan. Lihatlah lalu lintas di jalan raya sebagai cermin kehidupan sosial. Undang-undang mengatur bahwa kendaraan yang berjalan lebih lambat mengambil jalur kiri.Namun, lihatlah, truk-truk dan sepeda motor yang berjalan di jalur tengah atau kanan. Bila diingatkan, mereka bukannya berterima kasih tapi cenderung melawan (Jawa: mokong).Hilang KepercayaanSuasana kehidupan sehari-hari di negeri ini cenderung mencerminkan suatu tatanan tanpa aturan dan pemimpin. Setiap orang merasa memiliki kebebasan untuk bertindak tanpa memedulikan aturan dan etika. Pengendara mobil selalu dianggap lebih kaya dan berpendidikan.Tapi, di banyak loket jalan tol, kita saksikan pengendara mobil seenaknya membuang karcis tol ke jalan.Di negeri seperti Inggris, negara dengan sedikit hukum tertulis, orang yang melanggar hukum (tertulis atau konvensi) akan merasa malu karena bakal dicap sebagai insan yang tidak beradab. Di negeri ini, orang cenderung bangga kalau bisa melanggar hukum.Sebagian besar penyebab timbulnya tatanan mobocracy (demokrasi gerombolan) ini adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap elite politik. Rakyat kehilangan figur yang bisa diteladani.Di lain pihak, rakyat juga masih bersikap ambivalen terhadap pelanggar hukum. Kandidat kepala daerah yang main politik uang tetap dipilih, karena mereka tahu calon lain belum tentu bisa dipercaya.Salahkah sistem pilkada langsung? Itulah kesimpulan terburu-buru Kementerian Dalam Negeri, sehingga mengajukan usulan pilkada melalui DPRD dalam RUU Pilkada.Sejatinya, bukan sistemnya yang salah, akan tetapi sistem itu diciptakan tanpa jaminan penegakan hukum. Terhukum dalam sengketa pilkada selalu hanya menyangkut person atau mekanisme teknis, bukan lembaga politik.Selama pilkada dibiarkan tanpa dasar hukum yang kuat dan aplikatif, maka pemilu kepala daerah hanya perhelatan demokrasi prosedural yang tidak menjamin kualitas kepala daerah.Saatnya semua orang berpikir untuk memperbaiki proses pemilihan pemimpin yang fair, sehingga tercipta demokrasi yang substansial.Demokrasi substansial menilik pemilu dari sisi prosesnya, bukan hasil. Proses yang mampu melahirkan pemimpin melayani, bukan yang sekadar mengejar kekuasaan. Dalam istilah Max Weber, pemimpin yang will to serve, bukan will to power. Perbaikan proses ini penting menghadapi 2014 sebagai tahun politik. (87)