Sabtu, 25 Februari 2012

Tambokoto - Tag Archives: surya paloh

 

Profil Hary Tanoesoedibjo Sang Pengusaha Media

simak di sini : Harry Tanoesudibjo (Bos Media). Tulisan ini menjadi naskah dalam buku Man of The Year 2011 oleh RMOL yang diterbitkan pada 29 Januari 2012. Harry Tanoe menjadi penerima award dalam kategori Unpredictable Newsmaker.
Pengusaha muda Hary Tanoesoedibjo, yang sebelumnya tak mengenal politik praktis secara mengejutkan melabuhkan jangkar politiknya di Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Panggilan hati nurani atau ingin mencari perlindungan bisnis di balik parpol?



Di penghujung 2011 lalu, raja bisnis media, Hary Tanoesodibjo menyita perhatian publik. Kali ini bukan mengenai sepak terjang bisnisnya yang memang semakin menggurita, melainkan keterlibatan pengusaha muda ini di panggung politik.
Masyarakat, terutama kalangan politisi, tersentak kaget ketika mendengar pengusaha yang akrab disapa Hary Tanoe itu bergabung dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), berdampingan dengan bos Media  Group, Surya Paloh. Sebab, partai yang dipilih adalah partai baru yang belum bisa diprediksi masa depannya. Bukanlah partai penguasa atau partai besar lainnya.
Seperti diberitakan, Rapat Pimpinan Nasional I Partai Nasdem yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara ( 9-10 November 2011) secara resmi, menegaskan, Hary Tanoe telah bergabung ke Partai Nasdem dengan jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar. Memang sejak tiga bulan sebelumnya, santer tersiar kabar bahwa pemilik MNC Group itu akan melabuhkan diri ke partai besutan Surya Paloh tersebut.
Langkah Hary Tanoe masuk ke jalur politik praktis memang mengejutkan. Namun, jika dirunut ke belakang, sebagai pengusaha Hary dikenal sebagai sosok fenomenal. Terkadang membuat gebrakan tak terduga, bahkan terasa kontroversial.
Sepak terjang bisnis Hary Tanoe memang tak diragukan, khususnya soal bisnis. Sejak muda dia rajin mengubah haluan bisnisnya, mulai dari perusahaan sekuritas, investment company, sampai membentuk induk perusahaan dan merambah ke bisnis media.
Awalnya, Hary Tanoe hanya anak pedagang kusen dan daun jendela semasa kuliah di Kanada dan Amerika, sembari main di Wall Street. Kembali ke tanah air, dia mendirikan perusahaan sekuritas PT Bhakti Investama bersama Titiek Soeharto.
Hary Tanoe berhasil berjibaku memutar bisnis justru pada saat turbulensi keuangan Asia Tenggara berepisentrum di Indonesia. Ia mampu meyakinkan Bambang Trihatmodjo dan trah Cendana untuk menjalankan macam-macam bisnis, melalui holding company-nya, Bhakti Investama.

Mengejutkan Cendana
Pada tahun 2002, Hary Tanoe membeli saham Bimantara Group, kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Triatmodjo pada 1981. Entah bagaimana aksi, pendekatan atau lobi yang dilakukannya, tiba-tiba semua kontrol Bimantara sudah bukan lagi di tangan Bambang Tri. Kurang dari lima tahun setelah Hary masuk Bimantara, tanpa banyak bicara, Bimantara Citra tiba-tiba sudah berubah nama menjadi Global Media Network. Dan, nama Bimantara kini tinggal kenangan.
Dengan gebrakan secepat kilat, ia menggemukkan jaringan media di bawah bendera Media Nusantara Citra yang mengkongkonsolidasikan kepemilikan media elektronik televisi (RCTI, Global TV, MNC TV), radio (Sindo Radio), portal berita okezone.com dan media cetak (Koran Seputar Indonesia dan mengangkat anak tiri majalah Trust menjadi anaknya).
Melalui MNC, Hary Tanoe melakukan akuisisi ataupun kemitraan strategis dengan sejumlah pemilik radio swasta niaga, televisi lokal, termasuk pengembangan channel-channel kosong yang ada di jaringan TV Berbayar Indovision.
Setelah membuat gebrakan dengan menguasai saham Bimantara, Hary Tanoe kembali merambah bisnis keluarga Cendana yang lain. Sasarannya adalah stasiun televise milik Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Kini Hary Tanoe tengah  bersengketa kepemilikan saham di  Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Mbak Tutut—putri penguasa Orde Baru dengan menjanat Presiden RI selama 32 tahun—itu, dibuatnya ‘tidak berkutik’.
Puncaknya, di penghujung 2011 lalu Harry Tanoe mulai “spinning” lagi, dengan memproklamirkan diri sebagai pentolan Partai Nasdem bersama koleganya, pemilik televisi berita pertama Metro TV dan pendiri Koran Media Indonesia, Surya Paloh.
Masuknya Hary Tanoe ke politik praktis pada saat bisnisnya mulai menggeliat, tentu menimbulkan tanda tanya berbagai kalangan. Ketika kepercayaan rakyat kepada para politisi dan partai politik menipis, mengapa dia justru memasuki ranah tersebut?
Lalu, mengapa pengusaha yang pernah diberi predikat sebagai salah satu pengusaha berpengaruh di Indonesia itu memilih Partai Nasdem sebagai partai baru yang masih belum jelas kekuatannya? Mengapa ia tak tertarik berpolitik di bawah panji partai penguasa, atau partai besar lainnya, yang akan dengan suka cita menerima kehadirannya?
Sebelum merapat ke Partai Nasdem, Hary Tanoe dikenal sangat dekat dengan Partai Demokrat dan masuk dalam lingkaran Presiden SBY. Karena itu, ketika Hary Tanoe memilih merapat ke Surya Paloh,– politisi yang gencar mengkritik kebijakan pemerintah,– spekulasi pun muncul.
Kabar beredar, masuknya Hary Tanoe ke partai dengan ikon Surya Paloh itu lantaran dia sakit hati ditinggal SBY. Menurut isu pula, Hary merasa ditinggalkan saat didera kasus Sistem Administrasi Badan Hukum atau terkanal dengan singkatan Sisminbakum di Kejaksaan Agung. Benarkah? Hary Tanoe membantah keras spekulasi yang mengatakan, pilihannya bergabung bersama Partai Nasdem berlatar-belakang kekecewaan pada penguasa dan partainya.
Harry menyanggah. Dia menegaskan kalau bisnis yang dijalani sudah mapan, sehingga merasa sudah waktunya memenuhi panggilan hati nurani untuk terjun di bidang politik. “Ini karena ada motivasi, ada panggilan. Ada niat ada jalan. Saya ingin menyumbangkan, membangun bangsa dan memberikan kontribusi positif. Tidak ada niatan untuk mencari uang dari politik.” Demikian  Hary Tanoe menepis kecurigaan.”
Soal kenapa Partai Nasdem yang menjadi kendaraan, bos MNC itu mengaku pilihan tersebut berawal dari perbincangan dengan Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat, Surya Paloh. Hary mengklaim dirinya dan Surya Paloh memiliki perspektif dan visi yang sama membangun negeri. Kesamaan visi ini, kata Hary sangat penting. Proaktif, tulus, dan bekerja keras dan bekerja cepat tentunya untuk kebaikan masyarakat. Karena kesamaan visi itu ia memutuskan mau menjadi Ketua Dewan Pakar.
Dalam pidato politiknya di depan peserta Rapimnas Partai Nasdem, Hary Tanoe menyatakan bahwa pilihan bergabung dangan Nasdem sudah sangat tetap. Sebab, prospek Nasdem untuk tumbuh dan jadi pilihan rakyat dalam Pemilu yang akan datang sangat besar. Nasdem, kata Hary, punya momentum yang tepat untuk tumbuh dan jadi pilihan masyarakat.
“Di tengah-tengah kondisi yang tidak menentu seperti sekarang, Nasdem hadir menawarkan solusi,” kata Hary, seperti dituturkan Sekjen Nasdem Ahmad Rofiq, dalam wawancara khusus dengan Rakyat Merdeka Online.
Top of Form

Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Sugeng Suparwoto menyatakan, pihaknya tidak pernah merayu-rayu Hary Tanoe untuk masuk partainya. Tapi, Hary ingin masuk sendiri, karena tertarik dengan visi misi Nasdem. “Kita tidak pernah memberikan iming-iming atau power. Sebab, sebagai partai baru apanya yang mau diberikan,” kata Sugeng.
Soal jabatan ketua dewan pakar untuk Hary, Sugeng mengatakan sangat pantas. Sebab, dari segi ilmu manajemen, Hary adalah orang mumpuni. Hary juga dianggap punya analisis yang matang dalam setiap masalah. Dengan posisinya, Hary diharapkan bisa memberi masukan yang berarti untuk memajukan partai.
Meski belum menunjukkan “kelasnya” sebagai politisi, keberanian Hary Tanoe naik ke panggung politik mendapat apresiasi sejumlah kalangan. Salah satunya adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. katanya, etnis Tionghoa yang pengusaha, yang berani terjun ke politik baru Haryy Tanoe. “Saya apresiasi bahwa politik itu dunia kita semua. Jadi tidak usah segan, darimana pun latar belakang kita, untuk terjun ke dunia politik. Karena itu mulia,” sebut Jimly.
Kalangan politisi melontarkan komentar yang beragam. Wakil Sekjen Parati Golkar, Nurul Arifin menegaskan bahwa Partai Nasdem tidak akan mampu menggerogoti partai yang sudah mapan, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrat. Ratu Disko Jawa Barat 1983 itu menuturkan, meskipun memiliki banyak media massa, partai Nasdem miskin ketokohan sehingga tidak berarti apa-apa dalam politik di Indonesia. “Kekuatan media juga bukan segala-galanya sebab jika miskin ketokohan, tak ada artinya,” ucap Nurul.
Sebagai partai yang sudah banyak makan asam garam politik di tanah air, kata Nurul Arifin, Partai Golkar sangat siap berhadapan dengan lawan politik apapun pada pemilu mendatang. “Kita sudah teruji dengan pengalaman-pengalaman yang enak maupun tak enak.”
Artis papan atas di era 90-an itu, menyebutkan bahwa meskipun Partai Nasdem memiliki banyak media massa menyusul masuknya Bos MNC Grup, Harry Tanoesoedibjo, bukan berarti partai itu dengan mudah mendulang suara. “Karena yang menentukan suara itu adalah rakyat, bukan media.”
Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrat, Mohammad Jafar Hafsah, menegaskan keyakinannya bahwa Partai Nasdem tak mampu menggerogoti suara partainya kendati sama-sama nasionalisme. Ketidakmampuan Partai Nasdem menggerogoti suara partai penguasa itu, menurut Jafar, karena partai binaan Susilo Bambang Yudhoyono sudah memiliki wilayah atau kantong suara yang loyal.
Jafar menambahkan, Partai Demokrat memiliki kantong-kantong suara yang tak tergoyahkan. Apalagi, para pemilihnya loyal kepada Partai Demokrat. Tapi, kata dia,  Partai Demokrat tak akan lupa dan terus waspada terhadap partai lain. Baik itu baru maupun partai lama.”Perlu dicermati dengan baik guna mengantisipasi kemungkinan terburuk,” ungkap Jafar.
Sebagai warga negara, Hary Tanoe tentu sepenuhnya berhak menentukan haluan politiknya. Apalagi, ia telah matang di bidang bisnis sehingga bisa diharapkan ia tak akan tergoda untuk memupuk kekayaan dari kancah politik.
Pakar Komunikasi Politik Univeritas Indonesia (UI) Effendy Ghazali menyatakan, masuknya Hary Tanoesoedibjo ke Nasdem  merupakan suatu gejala yang wajar. Karena, di luar negeri juga terjadi serupa: seorang pengusaha masuk partai politik. Hal itu terjadi pula pada Thaksin di Thailand dan di beberapa negara lain. “Masuknya Hary Tanoe, kata Effendi, tentu akan menjadi kekuatan baru bagi Surya Paloh.”
Namun, sebagai pengusaha di bidang media yang mempunyai daya pengaruh besar guna membangun opini public langkah Hary itu memang layak dicermati. Terlebih lagi, ia bergabung dengan Surya Paloh, yang juga memiliki media.
Pengamat politik senior Arbi Sanit, mengungakpkan kelumrahan masuknya Hary Tanoe ke pentas politi. Hal tersebut baginya lumrah sebagai kebanykan pengusaha.  Sebab, katanya, orang-orang bisnis semakin yakin dengan masuk ke politik, bisnisnya akan lebih terlindung atau malah bisa ekspansi. Sejalan dengan itu, bergabungnya Hary Tanoe ke Partai Nasdem tidak akan membuat perpolitikan Tanah Air menjadi produktif. Justru akan terjadi konflik kepentingan, terkait posisinya sebagai pengusaha dan politisi.
Kecurigaan Arbi Sanit tentu sangat beralasan. Namun, menghadang langkah Hary Tanoe di jalur politik, dengan alasan ia adalah pemilik berbagai media, juga bukan tindakan yang adil. Bukankah sebaiknya ditunggu dan dicermati, langkah-langkah politik seperti apa yang ditempuh oleh sosok pengusaha muda ini?

Selasa, 21 Februari 2012

TAMBOKOTO - People of The Year 2011

Monday, 16 January 2012
ImagePada era revolusi, Bung Karno meminta 10 pemuda untuk mengubah dunia.Ketika Indonesia sudah 66 tahun merdeka, dan memasuki era reformasi, apa yang diperlukan? Substansi dari jiwa pemuda yang memiliki spirit perubahan itulah yang diperlukan dalam konteks membangun bangsa pada era reformasi.

Kini, Indonesia membutuhkan keberanian, inovasi, konsistensi, dan spirit yang tidak pernah berhenti dalam melawan arus hegemoni kemapanan untuk mewujudkan sebuah perubahan. Spirit itulah yang memberi inspirasi harian Seputar Indonesia untuk secara konsisten menggelar tradisi penganugerahan People of The Year (POTY) kepada anak bangsa yang memiliki keberanian membuat perubahan, dan secara kreatif melahirkan berbagai inovasi yang bisa memberi inspirasi kepada anak bangsa yang lain.

Untuk penganugerahan POTY yang ke-7 (sejak 2005), Seputar Indonesia melalui survei dan panel yang diikuti sejumlah pakar, memilih Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla . JK, biasa mantan wapres ini dipanggil, memiliki karakter berani untuk menyuarakan perubahan di mana pun dan dalam konteks apa pun. Dia bukan tipe pejabat yang setelah lengser mengidap penyakit post-power syndrome.

Namun secara kreatif, dengan lembaganya di PMI, JK berhasil mengukuhkan diri sebagai jiwa yang humanis yang keberadaannya sangat menyegarkan dan menyejukkan masyarakat. Selain itu, JK telah berhasil membawa lembaganya yang sebenarnya kurang seksi menjadi semakin penting bagi masyarakat.

Maka wajar kalau para pakar dalam panel seperti Prof Dr Komaruddin Hidayat,Prof Dr Mahfud MD, Prof Firmanzah, PhD, Dr Dewi Fortuna Anwar, Dinna Wisnu, PhD, Handi Irawan, MBA Mcom,Dr Tony Prasetyantono, Prof Rhenald Kasali, memilih JK sebagai tokoh yang pantas mendapat POTY dari harian Seputar Indonesia.

JK secara usia bukan muda lagi,namun spirit perubahannya sangat kuat dan dia berperan sebagai tokoh yang siap menghadapi risiko dan cepat menyelesaikan masalah.Hal ini bisa terlihat bagaimana JK berani melawan arus atas perjuangan mengampanyekan Pulau Komodo agar diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.Di satu sisi,JK harus berhadapan dengan sikap pemerintah yang menarik diri dari kompetisi itu.

Namun, perjuangan JK berhasil menggugah hati seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk tetap bersemangat memperjuangkan Pulau Komodo masuk dalam keajaiban dunia, yang akhirnya berhasil.Selain JK, Seputar Indonesia telah menganugerahkan POTY dalam beberapa kategori,yang di setiap kategori memberikan kontribusi perubahan yang besar dalam bidangnya masingmasing. Nama-nama penting yang mendapatkan POTY adalah Ir Tri Rismaharini (WaliKota Surabaya).

Dia dianugerahi sebagai Kepala Daerah Terbaik; Albertino Ho,SH, MH seorang hakim, terpilih sebagai tokoh penegak hukum terbaik; Rio Haryanto, seorang pembalap, terpilih sebagai tokoh muda terbaik; Dr Sofyan Tan, terpilih sebagai tokoh dalam kategori social entrepreneur; dan Sofyan Basir,Dirut BRI,terpilih sebagai CEO terbaik.

Selain itu,Seputar Indonesia juga memberikan apresiasi dengan kategori Inspiring CEO kepada Dwi Soetjipto (Dirut PT Semen Gresik) dari Jawa Timur; Gus Irawan Pasaribu (Dirut Bank Sumut) dari Sumut; Ellong Tjandra (Dirut Bank Sulselbar) dari Sulsel; I Ketut Mardjana (Dirut PT Pos) dari Jawa Barat; H Muhamad Hilmy (CEO Mubarok Food) dari Jawa Tengah; dan Asfan Fikri Sanaf (Dirut Bank Sumsel Babel) dari Sumsel.

Para tokoh yang mendapatkan POTY kali ini adalah orangorang terbaik. Indonesia membutuhkan mereka, karena para tokoh ini, baik secara pribadi, atas nama lembaga, maupun bidangnya digerakkan untuk kepentingan bangsa yang lebih baik.

Nilai-nilai kesadaran tentang perubahan yang lebih baik dalam pikiran mereka sangat kuat, sehingga sudah sepatutnya kalau mereka kita tempatkan menjadi orang-orang istimewa bagi bangsa ini.●
 

Senin, 20 Februari 2012

Tambokoto - Angelina kena karma


JAKARTA - Angelina 'Angie' Sondakh, kini diserang dengan kabar tak sedap mengenai kehidupan pribadinya. Mantan putri Indonesia itu sering bertengkar dengan suaminya Adjie Massaid semasa hidupnya, bahkan terus-menerus minta cerai, meski Adjie menolaknya.

Kini, Angie menerima 'karma' atas kelakuannya itu. "Dia kena karma atas perbuatannya sendiri. Kan dalam kehidupan ini berlaku siapa yang menabur benih dialah yang akan menuai badai. Siapa yang korupsi dan menerima suap dia akan berhadapan dengan hukum seperti apa yang dirasakan Angie saat ini," kata psikologi Prof Dr Dadang Hawari kepada Harian Terbit, Sabtu (18/2).

Menurut Dadang, selama ini Angie memang dianggap sebagai perempuan yang mudah jatuh cinta. Buktinya belum genap seta-hun usia kematian mantan suaminya Adjie Masaid, ia sudah menjalin cinta dengan salah seorang penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kompol Brotoseno. Selain itu dia juga terlalu dekat dengan adik iparnya sendiri Mudji Massaid.

"Apa yang dilakukan Angie ini semakin membuat publik tidak menaruh simpati kepadanya, makin membencinya. Publik lebih benci lagi saat ia memberikan kesaksian palsu saat menjadi saksi. Sebaiknya Angie jangan jadi pembohong! Jika sekali saja berbohong maka akan terus menerus berbohong. Jika berbohong terus dia akan terkena karmanya sendiri," kata Dadang.

Akibat karma itupula, kehidupan rumah tanggan Angie penuh dengan prahara. Hal itu diakui oleh Linda Djalil kakak tiri Adjie. Menurut Linda, Kehidupan rumah tangga adiknya itu tak harmonis. Masalahnya Angie sering minta cerai, sebelum Adjie Massaid wafat.

"Tiap hari Angie telepon saya. Dia bilang mau cerai dengan Adjie. Dia bilang sudah tidak sanggup," ucap Linda kepada wartawan di Kantor Pengacara Elza Syarif, Jumat (17/2).

Tak hanya Angie, dituturkan Linda, Adjie pun juga pernah menghubunginya dan mengaku rumah tangganya sedang dilanda prahara. "Adjie sempat menghubungi saya. Sebelum tidur dan bangun dia (Angie) minta cerai, Angie sering marah-marah kepada Adjie," ucap Linda.

Suasana rumah tangga Adjie dan Angie memang benar-benar memanas saat itu. Mereka sering ribut. "Segala keributan antara Angie dan Adjie saya nggak pernah membela Adjie. Justru saya memarahi dia. Saya maki habis dia. Dia hanya diam dan menitikkan air mata," ucap Linda.

Tak sayang anak
Salah satu yang kerap jadi pemicu masalah, lanjut Linda, sikap Angie kepada dua putri Adjie dari pernikahannya dengan Reza Artamevia, Zahwa dan Aaliya. Kepadanya, Adjie sempat mengungkapkan bahwa Angie kurang adil. "Adjie menangkap kesan, Angie enggak sayang sama anak-anaknya (dari pernikahannya dengan Reza-red)," katanya.

Dihubungi Sabtu pagi, Elza Syarief yang pernah menjadi kuasa hukum Adjie membenarkan keinginan Angie bercerai dari Adjie. Menurutnya, Angie, minta cerai dari Adjie sekitar 2010 lalu. "Saya dan Adjie itu ibarat ibu dan anak. Setiap hari Adjie selalu bekeluh kesah dengan saya soal kehidupan rumah tangganya dengan Angie. Angie memang selalu minta cerai darinya. Adjie waktu itu bilang kepada saya soal rencana perceraian itu namun saya mengatakan nanti dulu dan saya memang mengulur-ulur rencana itu hingga akhirnya Adjie wafat pada 5 Februari 2011," kata Elza.

Elza membeberkan, pasangan yang menikah pada April 2009 lalu itu kerap bertengkar. Meski Angie meminta cerai, ujar Elza, Adjie tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya. "Seperti biasa Adjie nggak mau bercerai. Meski demikian, pada akhirnya Adjie menyerah dan setuju bercerai apabila Angie tetap bersikukuh. Elza pun mendapat kabar bahwa perjanjian perceraian antara Adjie dan Angie sudah selesai dan akan dikirim lewat e-mail," katanya.

Belanja miliaran
Kabar tak sedap lainnya disampaikan tim penasihat hukum Nazaruddin, Rufinus Hutauruk. Ia menyebutkan, gaya hidup mewah Angie menjadi penyebab kehancuran rumah tangga Angie dan Adjie.

Rufinus menceritakan rumahtangga pasangan artis dan politisi ini kerap diwarnai pertengkaran. "Satu di antara penyebabnya adalah gaya hidup mewah Angie yang sulit diterima Adjie," cerita Rufianus di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (15/2) lalu.

Gaya hidup Angie yang bermewah-mewahan dan gemar belanja hingga milliaran rupiah pun terbawa hingga ke tempat ia mengenyam pendidikan Magister di Universitas Indonesia. Kencana, salah satu mahasiswa program Pasca Sarjana Manajemen Komunikasi Politik menuturkan, kakak kelasnya itu ketika hadir di kampus selalu bergaya mentereng.

"Iya, dia kakak kelas gue, gayanya selangit kalau ke kampus, berasa seleb banget. Petantang-petenteng, banyak gaya, pengen eksis banget," ujar Kencana kepada Tribunnews.com, Jumat(17/2). (dody/ali)

Selasa, 14 Februari 2012

TAMBOKOTO - MAJAPAHIT EMPIRE " Kilas Balik Kerajaan Majapahit".....


Setelah raja Sri Kertanegara gugur, kerajaan Singhasari berada di bawah kekuasaan Jayakatwang dari Kediri. Salah satu keturunan penguasa Singhasari, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Arok, Raja Singhasari pertama dan anak dari Dyah Lembu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kertana-gara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nagarakerta-gama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kertanagara dinikahinya semua
.

Sisilah Raja Majapahit
Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasari, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasari menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh Raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Terik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Dengan bantuan Arya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Surya Majapahit
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasari atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Mata Uang Majapahit
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar S’ri Kertarajasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Paremeswari Dyah Dewi Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kertanagar kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, S’rimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasari. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.

Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagar. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (bekel/bhayangkari). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.

Pada masa Jayanagara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada. Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadeng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.

Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri Rajasanagara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhumi (maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.

Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Paduka S’ori, anak dari Bhre Wengker yang masih terhitung bibinya. Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.

Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapel kut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhumi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Daerah Kekuasaan Majapahit
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel (Dyah Kertawijaya). Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Sri Rajasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Suryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Arok saat mendirikan kerajaan Singhasari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.

Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.


(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)


Senin, 13 Februari 2012

TAMBOKOTO - Sisi Mengharukan - Investigasi Tan Malaka di Hongkong

 

Sunday, February 5, 2012

Setelah mengalami pertempuran antara pasukan Nippon dengan Tentara Ke-19 Cina di Shanghai — perebutan Benteng Woosung, dimenangkan pasukan Jepang. Dari Shanghai Tan Malaka, yang telah menggunakan nama Ong Soong Lee, beralih ke Kowloon.

Daerah perumahan Tan Malaka menumpang, di Szu Chuan Road, Shanghai, habis terbakar dan dijarah orang isi rumah-rumah di blok tersebut — beruntung paspor Tan Malaka atas nama Ong Soong Lee dapat ditemukan.


Paspor itu dikeluarkan oleh Pemerintahan Phillipina, Ong Soong Lee, keturunan bapak Orang Cina, dengan ibu Orang Filipino. Lahir di Hawaii.


Oktober 1932 Ong Soong Lee (dengan variasi 6 nama, menukar letak ke-3 suku nama tersebut) plus lainnya, ada 13 nama samaran — ia menginap di Station Hotel, Kowloon.


Dia baru saja bertemu dengan teman dari Indonesia di Shanghai — nama temannya itu Dawood, yang juga memakai nama Filopino, tinggal di Hongkong. Dalam persiapan pertemuan di Hongkong, ada naluri akan menemukan bahaya.


Setelah berliku-liku menghilangkan jejak dalam pengejaran Polisi Rahasia Hongkong (Inggris) — Tan Malaka tertangkap. Jalan keluar dari Kowloon, hanya satu-satunya jalan ke luar, Canton — jalur kereta api itu juga telah tertutup.


Tan Malaka di-introgasi sebagai Ong Soong Lee, warga Philliina-Cina — berpekan-pekan beberapa tim introgasi dari beberapa wilayah Jajahan Inggris dikerahkan — Tan Malaka tetap tegar. Mereka datang melacak Dawood di Hongkong.



Dalam pemeriksaan Tan Malaka cerdik — menggunakan trik, “Inggris adalah negeri demokratis”, mereka tidak boleh se-mena-mena memeriksa ‘Orang Tertuduh” ……………… saat itu di Tiongkok goncang, seorang Komunis Rusia sedang melakukan “mogok makan” memprotes penangkapan dan perlakuan terhadapnya.


Tan Malaka bersikap, bahwa pemerintah Inggris tidak bisa menekan siapapun orang yang akan memerdekakan negerinya. Inggris selalu mempraktekkan tidak memulangkan pelarian politik ke negeri asalnya. Seperti dilakukan terhadap Raja Spanyol, Raja Siam, Praca-Dipok, dan Dr. Sun Yat Sen.


Tan Malaka ( sebagai Ong Soong Lee) berusaha jangan sampai ‘dikembalikan ke tangan musuh’.


“……………….. Tiada berapa lama antaranya pintu kamar tahanan saya dibuka, Yang masuk ialah tuan Dickenson, untuk pamitan. Dia mengajukan tangannya buat berjabatan mengucapkan selamat tinggal, yang diucapkan dengan suara terharu berikut dengan perkataan : ‘ I admire you very much for the attitude you have taken’……… Tiadalah baik saya sembunyikan di sini, bahwa beserta suaranya yang terharu itu, saya saksikan matanya yang basah. Bukan sekali dua saya berpisahan dengan orang Eropa dan mengalami tekanan tangan, suara dan air mata yang berasal dari perasaan yang jujur .”


Dickenson adalah salah seorang yang dikirim pemerintah Inggris untuk memeriksa Tan Malaka, dalam mengusut jaringan Dawood yang datang ke Cina untuk membawa pesan-pesan dari Indonesia.


Pritvy Chan, keturunan India yang juga dikirim ke Hongkong — yang bersama-sama Dickenson, berminggu-minggu memeriksa ‘Ong Soong Lee’ — berpamitan dengan menjulurkan tangannya dari sebalik jeruji besi ………….” Will you forgive me, will you forgive me ……….. that would be upon my shoulder………..”



“Pritvy Chan belum lupa akan tingkah lakunya pada malam penangkapan saya di Kowloon. Pun Pritvy Chan tahu benar, bahwa almarhum Subakat mati dalam penjara Belanda ……………!”


“……………Simpati memang tiada mustahil, pun dalam penjara imperialism Inggris…………………. Tiadalah semua jantungnya dingin seperti air beku, tetapi ada yang panas, bisa menggerakkan perasaan kemanusiaan. Saya masih ingat pada suatu malam hari sesudah kantor tertutup kepala polisi Murphy sendiri datang ke depan terali saya, pula penuh perasaan memberikan sebotol lemonade yang dikeluarkan dari dalam kantongnya sendiri. Tak banyak perkataannya dan terus dia pergi ……….”.


Kutipan di atas …………… rupanya menyusul telah terlacaknya identitas ………. Ketika dikeluarkan dari selnya ………….. menuju ‘sel Cina’ Tan Malaka menyaksikan mayat orang hukuman Cina yang baru digantung ………….. sementara ia berjalan menuju selnya yang baru itu ………….. para polisi saling berbisik,

………. ‘Tan Malaka — Tan Malaka’ ………….. Tan Malaka memasuki “sel buat Inlanders”. Sempit dan kotor penuh derita.



Tan Malaka selama dalam pembuangan-pengasingan di Cina tidak selamanya bertempat tinggal di hotel atau penginapan — ia sudah biasa ditampung menumpang di rumah-rumah penduduk Cina yang terkait langsung-tidak langsung dengan jaringannya. Bisa dapat sedikit nyaman di dalam kamar tidur, bisa pula tertidur di dalam gudang atau di depan kakus/WC.


Yang paling mengharukan Tan Malaka tidur dilantai di atas selembar tikar ………….. seorang pengungsi Cina, tinggi besar, terbangun dari tidurnya di atas bale-bale …………… melihat Tan Malaka bergelung kedinginan dalam selimutnya yang pendek ………………. Cina itu mengikatkan selimut itu dalam gelungan kaki Tan Malaka.


Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia itu — mengalami banyak penderitaan dalam perjuangan ‘menuju Republik Indonesia yang Merdeka. Bahkan.



Ya bahkan ia mati dibunuh Aparat Negara Republik Indonesia — jasad jenazahnya pun dikubur di tempat yang kini dalam pelacakan, dan sedang dilakukan test DNA dari tulang belulang sesosok mayat dari tempat misteri itu.



1328406552955118731


[MWA] (Sejarah O Sejarah – 04) Bahan bacaan Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka, jilid 2/3.

Minggu, 12 Februari 2012

TAMBOKOTO - Sejarah Biografi KH Abdurrahman Wahid (Gus dur)


KH Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir 7 September 1940 dengan nama Abdurrahman Addakhil adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia adalah ketua Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wahid menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober 1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Abdurrahman Wahid menyelenggarakan pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.
Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pengajar Muslim pertama yang mengajarkan kelas pada wanita[2]. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[4] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terlibat dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang didirikan oleh tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya. Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dean Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan seperti pedadogi, Syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga [10]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpikn dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformir NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentum Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu berkata bahwa ia permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid, bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munias yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia menerima hadiah dalam bentuk keanggotaan MPR. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Meskipun hal ini mengasamkan hubungan Wahid dengan pemerintah, Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyedikan interpretasi teks Muslim. Kritik menuduh Gus Dur mengharapkan merubah salam Muslim “assalamualaikum” menjadi salam sekular “selamat pagi”.
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989.
Kepresidenan
Perjalanan
Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Timur. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Wahid juga mengunjungi Irian Jaya dan Aceh, provinsi Indonesia yang memiliki banyak gerakan separatis, yang mengundang kontroversi. Salah satu ucapan Gus Dur yang kontroversial (tanpa konsultasi dengan sejarawan) adalah bahwa penamaan Irian pada provinsi Irian Jaya merupakan sikap merendahkan masyarakat papua karena kata Irian sama artinya berarti (maaf) kelamin. Padahal menurut sejarah penyebutan kata Irian untuk mengganti sebutan papua pertama kali diucapkan oleh Frans Kasiepo tokoh pejuang pembebasan Irian Barat asli papua yang merupakan singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland” untuk menunjukkan tekad bangsa papua bergabung ke dalam NKRI. Gusdur juga menimbulkan kontroversi dengan kunjungannya ke Israel, negara yang tidak disukai banyak orang Indonesia.
Penghargaan
Wahid ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan menanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia yang awalnya merupakan organisasi untuk mengejar tokoh nazi Jerman yang bertanggung jawab atas pembantaian jutaan warga Yahudi di Eropa. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Senin, 06 Februari 2012

TAMBOKOTO - BUNG HATTA - SOSOK PEJUANG DEMOKRASI


penulis: Harlan Eryandi


DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-64, Dirgahayu Indonesia Negeriku, Bangsaku dan Tanah Airku. Namun untuk meneriakkan MERDEKA saya masih malu dan miris, karena sampai dengan saat ini perekonomian negeri ini masih dikuasai Neolib dan Neo Capitalism, politik kita masih direcoki negara adi kuasa, bangsa ini belum merdeka dari ancaman teroris, dan lain lain. Enam puluh empat (64) tahun yang lalu terjadinya peristiwa bersejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tentu tidak akan terlepas dari nama Bung Hatta, beliau seorang negarawan dan demokrat sejati yang pernah ada dan mengukir perjalanan sejarah bangsa ini.
Rumusan teks proklamasi saja adalah ciptaan Bung Hatta dan A. Subardjo yang kemudian ditulis oleh Bung Karno dan ditanda-tangani oleh dwi-tunggal proklamator Sukarno-Hatta yang bunyinya = Proklamasi : “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lai-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ’45. Atas nama bangsa Indonesia. Sukarno-Hatta. Setelah pembacaan teks proklamasi selesai, lalu dikibarkanlah sang saka Merah Putih dan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang belum lama ini sempat dilupakan dalam acara pidato kenegaraan Presiden SBY di hadapan anggota Legislatif.
SEAKAN TERLUPAKAN DALAM SEJARAH
Kenyataan menunjukkan betapa tokoh proklamator yang satu ini, yang terus berjuang sepanjang hidupnya untuk rakyat seakan terlupakan dalam sejarah. Bung Hatta, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus tahun 1902, memang bukan tokoh yang hidup dalam glamour kekuasaan dan menikmati hingar-bingarnya politik. Bung Hatta lebih banyak berperan sebagai konseptor, administrator dan pemikir yang konsep-konsepnya jauh melampaui zamannya. Inilah yang membedakan beliau dengan sosok Bung Karno yang merupakan solidarity maker dan orator ulung yang mampu “menghipnotis dan menyihir” serta menggerakkan emosi rakyat yang mendengar pidatonya.
Perbedaan sosok Bung Hatta dari para ulama dan tokoh-tokoh pergerakan bangsa Indonesia lainnya yang berasal dari Ranah Minang seperti; Muhammad Natzir, Sutan Syahrir, H. Agus Salim dan Buya Hamka. Tokoh-tokoh ini secara luas dikenal sebagai pembicara ulung. Sedangkan Bung Hatta bukanlah seorang orator. Kehebatan dan kekuatan Bung Hatta terletak pada artikulasi gagasan-gagasannya dalam bahasa tulisan. Beliau lebih memperhatikan kemampuannya dalam menulis untuk menyampaikan berbagai pemikirannya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keagamaan. Pemikiran, ide-ide dan kegelisahannya terhadap bangsa yang dicintainya ini selalu segar dan tetap aktual sampai dengan saat ini.
Sosok keteladanannya sebagai bapak bangsa sangatlah diperlukan, terlebih di saat bangsa sekarang ini sedang jatuh terpuruk di dalam krisis multidimensi dan krisis kepemimpinan. Secara detail disini tentu tidak mungkin untuk mengupas berbagai butir-butir keteladanan Bung Hatta. Namun, yang paling penting dicatat adalah perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan nilai-nilai moral, etika serta kejujuran dalam politik berbangsa dan bernegara. Pujian Iwan Fals dalam lagunya, Bung Hatta adalah sosok pemimpin jujur, lugu dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia, walau besar bakti dan jasanya, namun tetap berjiwa sederhana dan bersahaja.
NEGARAWAN DAN DEMOKRAT SEJATI
Sesudah kemerdekaan dicapai dan dinikmati bangsa ini, Bung Hatta membuka peluang bagi pembelajaran demokrasi rakyat di Indonesia. Bung Hatta sebagai wakil presiden memberikan kesempatan untuk berdirinya partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu pada 1955. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa merasa takut. Akhirnya tidak kurang dari 39 partai mengikuti pemilihan umum yang dipandang sebagai Pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia modern. Namun usai Pemilu 1955, tepatnya pada 1 Desember 1956, beliau meletakkan jabatan sebagai wakil presiden. Beliau melihat bahwa sejak penerapan sistem Demokrasi Liberal, jabatan wakil presiden hanya pemborosan uang negara, karena kedudukannya yang tidak lebih dari simbol belaka.
Pada saat yang bersamaan pula, Bung Hatta melihat bahwa partai-partai hanya berebut pengaruh untuk berkuasa. Partai-partai baku hantam saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat. Para wakil yang duduk di pemerintahan pun lebih condong bersikap sebagai politisi dan oportunis, bukan negarawan. Tak berbeda jauhlah dengan kondisi yang terjadi saat ini, bahkan sekarang lebih parah dari masa itu. Di lain pihak, Bung Hatta juga melihat bahwa Bung Karno sudah mulai berbeda dengan prinsip beliau dan dianggapnya mulai keluar dari rel cita-cita Proklamasi 1945. Dengan pengunduran dirinya sebagai wakil presiden, Bung Hatta benar-benar memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pembangunan bangsa ini.
Sekalipun diluar pemerintahan, Bung Hatta justru tetap selalu menjadi kekuatan moral demokrasi dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. Bung Hatta, sebagai sahabat sejati Bung Karno, walaupun dalam beberapa hal sangat tidak sejalan, senantiasa mengingatkan Bung Karno, terutama terhadap perkembangan PKI yang begitu pesat sejak awal tahun lima puluhan. Bung Hatta cukup khawatir akan kebijakan Bung Karno yang terlalu memberi angin kepada PKI. Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, Bung Hatta-lah orang yang paling gigih melakukan kritik. Ia menulis “Demokrasi kita” dalam majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Menurutnya, Demokrasi Terpimpin adalah bentuk lain dari kediktatoran, yang kemudian tulisan (bukunya) tersebut peredarannya dilarang Bung Karno.
Bung Karno pun selalu diingatkan Bung Hatta untuk segera melaksanakan pembangunan, karena revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia 1945. Yang harus dilakukan sekarang adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Revolusi, jika tidak dibendung, hanya menghancurkan landasan dan bangunan, melepaskan engsel-engsel dan dinding-dindingnya. Pada saatnya akan mengakibatkan kekacauan belaka. Namun Bung Karno, dalam pidato-nya (Jalan Revolusi Kita), merespon Bung Hatta, menegaskan bahwa revolusi sebenarnya belum selesai. Kendati demikian, Bung Hatta senantiasa menempuh cara-cara legal dan konstitusional dalam rangka penegakan demokrasi. Beliau senantiasa tak berhenti menyampaikan kritik dan sarannya kepada Bung Karno.
Luar biasa memang, walaupun di antara kedua Proklamator ini terdapat perbedaan prinsip dalam pendirian mereka, namun hubungan persahabatan keduanya tetap hangat dan baik. Singkat cerita sekian tahun setelah Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil presiden, Bung Karno masih sempat mengunjungi Bung Hatta di rumahnya. Terlihat dan terlibat keakraban kedua peletak dasar Indonesia modern ini. Dalam suasana akrab tersebut, ketika akan makan malam, Bung Hatta juga sempat “menyerang” keras kebijakan politik Bung Karno. Namun Bung Karno tidak tersinggung oleh kritikan dan saran Bung Hatta. Kritik dan nasehat Bung Hatta disampaikannya kepada Bung Karno sebagai seorang sahabat. Bung Hatta tak kunjung berhenti mengirim surat berupa nasehat kepada Bung Karno untuk kembali ke cita-cita Proklamasi Indonesia semula. Dalam menyampaikan nasehat dan kritik tersebut, beliau senantiasa menjaga hubungan baik di antara mereka dan tidak pernah melecehkan dan mengecilkan arti pribadi Bung Karno. Begitupun Bung Karno sekalipun mendapat kritik tajam, Bung Karno tetap menghargai Bung Hatta sebagai sahabat.
Begitulah kisah perjuangan Bung Hatta dalam meluruskan dan menegakkan demokrasi. Berbeda persepsi dalam penegakan demokrasi tidak harus diartikan sebagai permusuhan, apalagi tidak mau bertemu atau bersalaman. Sebagai seorang demokrat sejati, Bung Hatta berjiwa besar melihat perbedaan pendapat dan tidak hendak memaksakan keinginannya sendiri. Ketika melihat kenyataan politik yang tak sesuai dengan harapannya, Bung Hatta bukannya mendirikan partai politik tandingan untuk menggembosi pemerintahan, sebagaimana dilakukan oleh para politisi kita saat ini. Bung Hatta, melalui tulisan-tulisannya, memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia untuk meraih kebebasan yang merupakan salah satu pilar penting bagi tegaknya demokrasi, untuk tetap kritis terhadap ketidak-berdayaan dan berjuang membela rakyat dalam menegakkan demokrasi.
Beliau juga mengajarkan kepada kita semua bahwa meletakkan jabatan, ketika melihat realitas politik tidak sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, adalah suatu tindakan ksatria. Beliau senantiasa menjalankan perannya sebagai pejuang dan pendekar demokrasi, meskipun tidak di jalur pemerintahan. Bung Hatta sadar bahwa demokrasi tidak dapat tegak dan berjalan tanpa perjuangan terus-menerus dan proses pencerdasan bagi rakyatnya. Hanya di tengah rakyat yang cerdas dan mengerti akan hak-hak mereka demokrasi dapat benar-benar diwujudkan. Merupakan pelajaran berharga yang harus kita teladani dari Bung Hatta. Beliau, sebagai seorang demokrat sejati, tidak pernah memaksakan kehendak, meskipun itu diyakininya benar. Disamping itu, sebagai pendekar demokrasi, Bung Hatta tidak pernah memanfaatkan rakyat untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
Mengatasnamakan rakyat dalam perilaku politik, padahal tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, baginya adalah suatu pembodohan terhadap rakyat itu sendiri. Bung Hatta tidak menginginkan rakyat selalu dijadikan objek oleh elite-elite politik dalam mencapai tujuan-tujuan mereka, lantas setelah itu rakyat dilupakan sama sekali. Bahkan, celakanya lagi, kalau rakyat malah diperberat dan dipersulit para elite tersebut dalam mencapai kekuasaannya. Itulah keteladanan Bung Hatta yang benar-benar penting di aktualisasikan para petinggi dan elit politik negeri ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bung Hatta telah menunjukkan dan memperhatikan sosoknya sebagai negarawan dan penegak demokrasi sejati. Wahai para elit politik negeri ini, apakah sosok Bung Hatta ini terlalu ideal bagimu?. Apakah dari dua ratus sekian juta penduduk negeri ini, apakah dari sekian puluh ribu para elit politik negeri ini masih belum sadar ?, sehigga kita hampir tidak pernah mendapatkan demokrat dan negarawan sejati seperti Bung Hatta ?.
Dari sosok pribadimu yang sederhana dan bersahaja wahai bapak bangsa, selalu ada optimisme terpancar dari sinar matamu. Dan tentunya kita pun bisa, mungkin dengan cara yang paling mudah dan sederhana, yaitu dengan membaca, belajar mengamati, meneliti dan mengkaji, baik itu masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya atau sesuatu yang paling dekat dengan kita, namun sering kita lupakan. Spirit, gagasan dan perjuanganmu senantiasa menginspirasi dan mengajak kita untuk bergerak dan melangkah lebih mantap, setidaknya dengan semangat proklamasi yang terus membara dan dinamis.
BUNG HATTA By : Iwan Fals
Tuhan terlalu cepat semua Kau panggil satu satunya yang tersisa, proklamator tercinta Jujur, lugu dan bijaksana Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa, rakyat Indonesia
Hujan air mata dari pelosok negeri, saat melepas engkau pergi Berjuta kepala tertunduk haru, terlintas nama seorang sahabat Yang tak lepas dari namamu
Terbayang baktimu, terbayang jasamu Terbayang jelas jiwa sederhanamu Bernisan bangga, berkafan do’a dari kami yang merindukan Orang sepertimu
Hujan air mata dari pelosok negeri, saat melepas engkau pergi Berjuta kepala tertunduk haru, terlintas nama seorang sahabat Yang tak lepas dari namamu
Terbayang baktimu, terbayang jasamu Terbayang jelas jiwa sederhanamu Bernisan bangga, berkafan do’a dari kami yang merindukan Orang sepertimu
(Lihat foto: BUNG HATTA - SOSOK PEJUANG DEMOKRASI)

TAMBOKOTO - Pembubaran PSI tahun 1960



 Budi Aribowo's note
Menyusul peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi Utara, maka pada tanggal 21 Juli 1960 Presiden Soekarno secara resmi memanggil Pimpinan Pusat Partai Sosialis Indonesia (PSI) yaitu : Sjahrir, Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastroastomo, T.A. Moerad dan Djoeir Moehamad.

Kepada Pimpinan Pusat PSI ditanyakan apakah PSI terkena pasal 9 ayat (1) berupa Penetapan Presiden RI No. 7 tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian atau tidak. Setelah memberikan jawaban lisan, Pimpinan Pusat PSI berjanji akan memberikan jawaban secara tulisan.

Jawaban resmi PSI secara tertulis dikirimkan oleh Sjahrir kepada Presiden Soekarno pada tanggal 27 Juli 1960, yang pada intinya adalah sebagai berikut :

(1) PSI menganjurkan serta menyetujui disertai dengan harapan kembali ke UUD 1945 berarti pernyataan niat untuk meninggalkan segala keburukan kekhilafan yang telah timbul dan merajalela selama hidup dengan UUD 1950 yaitu terutama perpecahan dan korupsi.

(2) Sesuai dengan garis politik dan perjuangan partai, maka partai tidak pernah menyatakan persetujuannya terhadap apa yang disebut PRRI yang diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958. Bahkan Pimpinan Pusat Partai telah mengirim Djoeir Moehamad dan Imam Slamet ke Sumatra untuk mencegah terjadinya pemberontakan.

(3) Saudara Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang ikut dalam PRRI sebagai menteri keuangannya adalah di luar pengetahuan partai, apalagi dia tidak pernah diberikan kuasa untuk bertindak atas nama partai. Sejak semula pendirian kita tegas dan tidak ragu-ragu; semua anggota partai kita dilarang mengikuti gerakan pemberontakan itu.

Setelah jawaban tertulis dari Pimpinan Pusat PSI, sekali lagi Pimpinan Pusat PSI dipanggil oleh Presiden Soekarno yang kemudian menyampaikan bahwa PSI akan dibubarkan karena kondisi Negara yang dalam keadaan “Staat van Orlog en Beleg” (SOB).

Kemudian pembubaran resmi Partai Sosialis Indonesia tertuang dalam keputusan Presiden No. 201 tahun 1960 yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 dengan alasan sebagai berikut,

“Oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut dalam pemberontakan apa yang disebut ‘Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)’ atau ‘Republik Persatuan Indonesia (RPI)’ atau telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan anggota organiasasi (partai) itu tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinan tersebut”.

Setelah pengumuman pembubaran PSI keluar, Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat PSI melalui Soebadio Sastroastomo mengajukan kepada Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) untuk mengadakan Konggres Luar Biasa tanggal 25-27 September 1960 di Jakarta. Karena tidak diberikan izin oleh Peperti, maka Dewan Pimpinan Pusat PSI menginstruksikan kepada seluruh cabangnya di Indonesia untuk membubarkan diri.

Pustaka :

Memoar Seorang Sosialis. Djoeir Moehamad. Yayasan Obor Indonesia. 2007

Semoga Bermanfaat.
Budi Ari

TAMBOKOTO - "Permesta Bukan Pemberontakan"


Gerbang gubernuran di Kota Makassar terbuka lebih lebar hari itu,
menyambut para tamu yang datang dari jauh dan dekat. Andi Pangerang
Petta Rani berdiri di ambang pintu, menyambut rombongan dengan sangat
ramah-tamah, kendati ia tahu pertemuan itu akan lebih merupakan sidang
yang makan urat saraf ketimbang silaturahmi bahagia.
Sekitar 51 tokoh Perjuangan Semesta (Permesta) yang datang
kemudian berunding selama tiga jam di kediaman Gubernur Sulawesi Andi
Pangerang. Pada akhir pertemuan, mereka menandatangani Piagam
Perdjoangan Semesta dalam Wilajah IT-VII Wirabuana. Dan Herman Nicolas
"Ventje" Sumual, penanda tangan pertama, lantas membacakan ikrar
bersama, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Permesta.
Dengan membacakan ikrar, Ventje saat itu sesungguhnya tengah
menuliskan bab yang penting dalam sejarah negeri leluhurnya. Deklarasi
yang ditujukan ke alamat pemerintah pusat itu mengandung dua tuntutan
penting: otonomi seluas-luasnya kepada daerah dan penghapusan sifat
sentralisasi dari sistem pemerintahan politik nasional. Maka, lahirlah
Permesta, pada hari itu, 2 Maret 1957. Sejarah kemudian mencatat,
Permesta, yang mula-mula hanya sebuah deklarasi perjuangan, akhirnya
berbuntut pada pemberontakan. Mengapa?
Herman Nicolas Sumual alias Ventje adalah orang yang paling tepat
untuk menjawab pertanyaan ini. Ia bukan saja seorang pejuang tangguh,
melainkan juga terlibat secara emosiserta fisik dalam seluruh proses
panjang—sejak ide gerakan dicetuskan hingga akhir yang antiklimaks.
Gerakan itu ditumpas TNI, sedangkan Ventje bersama kawan-kawannya harus
membayar keterlibatan mereka dengan harga sepadan: masuk penjara. Ventje
lahir di Rembokan, Minahasa, 11 Juni 1922. Sebagai anak seorang sersan
KNIL (serdadu Belanda), Ventje pernah belajar di Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (1946-1948),Yogyakarta. Sembari kuliah, ia aktif
sebagai perwira penghubung Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
dan diangkat menjadi Kepala Staf Brigade XVI dengan pangkat mayor. Ia
memimpin satuan-satuan KRIS dalam perjuangan menangkis serangan Belanda
di Yogyakarta pada Januari 1949. Setahun kemudian, ia menjadi anggota
Komisi Militer untuk Indonesia Timur dengan tanggung jawab wilayah
Sulawesi Utara.
Pada Mei 1956 ia menjabat Kepala Staf Tentara Teritorium (TT) VII.
Setelah tiga bulan, Ventje dilantik menjadi Komandan TT VII Indonesia
Timur dengan pangkat kolonel. Pada 2 Maret 1957, ia mengumumkan SOB
(staat van oorlog en beleg, negara dalam keadaan bahaya) di Indonesia
Timur—sekaligus memproklamasikan Permesta.
Nama Permesta lantas digunakan oleh kalangan tertentu di Sulawesi
Utara yang bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Alhasil, PRRI dan Permesta sering ditulis sebagai suatu kesatuan
menjadi PRRI/Permesta. Penyatuan seperti ini ditolak Ventje. "Permesta bukan gerakan pemberontakan, melainkan suatu piagam perjuangan," ujarnya.
Kakek delapan cucu ini memimpin pemerintahan militer yang dibentuk
Permesta. Kegiatan itu membuat Ventje dipecat dari TNI pada 26 Februari
1958. Sejak itu, ia pun semakin memusatkan kegiatannya dalam pergolakan.
Dari 1958-1961, Ventje berjuang bersama pasukan PRRI/Permesta di
Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Gerakan itu ternyata tidak bertahan
lama.
Pada 20 Oktober 1961 ia menyerah kepada pemerintah pusat dan masuk
karantina serta tahanan militer selama lima tahun. Lepas dari bui,
Ventje banting setir menjadi orang swasta. Ia mendirikan PT Konsultasi
Pembangunan, yang bergerak di bidang perkayuan. Bekas tentara ini
mendapat hak pengelolaan hutan seluas 100 ribu hektare di Maluku. Ada
yang unik dari perusahaan itu: mempekerjakan sejumlah orang yang pernah
terlibat PRRI/Permesta. Ventje
sebagai presiden direktur, Kolonel Simbolon sebagai presiden komisaris,
Ahmad Husein sebagai direktur, adapun para bekas anggota pasukan menjadi
staf.
Kini, dalam usia 77 tahun, pendengaran dan daya ingat ayah empat anak
ini tetap cemerlang. Setiap detail peristiwa tersimpan rapi dalam kotak
memorinya, sedangkan rambutnya sudah memutih perak. Staminanya terjaga
baik. Maklum, sampai hari ini Ventje masih lari pagi dengan semangat
seorang tentara. "Ini olahraga murah dan sehat," katanya.
Pekan lalu, wartawan TEMPO Setiyardi dan fotografer Fernandez
Hutagalung menemui Ventje di kantornya, di kawasan Jatinegara, Jakarta
Timur.


Petikannya:
Apa sebetulnya yang melahirkan Permesta?
UUD Sementara 1950 menegaskan otonomi seluas-luasnya bagi daerah dan
pengakuan hak asasi manusia. Namun, hal itu tidak pernah dilaksanakan.
Jadi, telah terjadi pelanggaran konstitusi.
Jadi, bukan karena alasan kepincangan ekonomi pusat-daerah?
Itu hanya soal manajemen. Ada manusia yang menyusun dan menjalankannya
dan menentukan maju-tidaknya perekonomian suatu negara. Untuk meluruskan
soal otonomi dan manajemen ekonomi, apa perlunya memberontak?
Ini yang sejak dulu ingin saya luruskan. Permesta bukan
pemberontakan, melainkan suatu deklarasi politik. Isinya seperti yang
diperjuangkan gerakan reformasi sekarang ini. Dulu, gerakan reformasi
kami sebut sebagai Permesta.
Lantas, mengapa PRRI/Permesta begitu populer sebagai "duet" pemberontak? Itulah, mengapa harus menggabungkan PRRI/Permesta? Mengapa tidak
PRRI/Dewan Banteng? Atau PRRI/Dewan Gajah? Pemerintah seperti ingin
menciptakan citra tertentu yang negatif terhadap gerakan Permesta.
Lo, kalau bukan PRRI/Permesta, siapa yang memberontak pada 1957-1961 itu?
Unit-unit TNI dan perwira yang banyak berjasa dalam pembentukan TNI dan
mempertahankan proklamasi, seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli
Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Warouw, Kolonel A.E. Kawilarang.
Dari tokoh sipil ada Mr. Asaat, Mohamad Natsir, Burhanuddin Harahap,
Sumitro Djojohadikusumo, dan Syafrudin Prawiranegara. Contoh unit TNI
yang ikut PRRI adalah Daerah Militer Sumatra Tengah dan Daerah Militer
Sumatra Utara.
Jadi, bagaimana bentuk hubungan PRRI-Permesta?
Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan. Tapi
Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur.
Pemerintah yang kemudian ingin memecah belah. Jadi, seolah-olah ada dua
pemberontakan, PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi.
Anda ikut Deklarasi Palembang pada Januari 1957. Bukankah hal itu menunjukkan hubungan yang kuat antara PRRI dan Permesta?
Yang ikut Deklarasi Palembang adalah unit-unit TNI. Tidak ada urusannya
dengan masyarakat umum. Lagipula, ketika itu UUD-nya bersifat sementara
(UUDS 1950), hingga segala sesuatu bisa berubah. Sebagai Angkatan 45,
kami merasa harus mengambil sikap atas keadaan yang berkembang.
Bukankah Barbara Silars Harvey dari Cornell University, yang menulis
Permesta sebagai tesis doktornya, menyebut gerakan tersebut a half
rebellion, pemberontakan setengah hati?

Saya sudah membaca tulisan itu. Isinya kurang akurat. Dia menyebut
Permesta sebagai Perjuangan Semesta Alam. Padahal, Permesta adalah
Piagam Perjuangan Semesta, tanpa ada kata alam.
Apa tanggapan pemerintah setelah Permesta dideklarasikan?
Pak Nasution (KSAD) dan Pak Yani sebetulnya setuju dengan Permesta.
Sekitar Mei 1957, keduanya datang ke Makassar.
"Saya setuju dengan isi Permesta. Ini untuk kepentingan prajurit,
tapi tidak usah berpolitik," kata Pak Nasution.
Kalau gerakan Permesta bukan pemberontakan, lalu wewenang apa yang Anda
gunakan untuk mendeklarasikannya atas nama Indonesia Timur?

Undang-undang yang ada memungkinkan panglima teritorial menyatakan
keadaan darurat perang. Saat itu kita masih menggunakan SOB buatan
Belanda. Nah, melihat situasi yang ada, saya lalu menyatakan Indonesia
Timur dalam keadaan darurat perang.
Situasi seperti apa itu?
Di luar masalah ekonomi, daerah-daerah di Indonesia Timur mulai
menyatakan ingin berdiri sendiri. Di Sulawesi Selatan ada Dewan
Hasanudin, di Maluku ada dewan serupa. Daripada berdiri sendiri, semua
saya ambil alih dan Permesta sebagai simbol perjuangan. Kemudian, saya
menyelenggarakan kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar. Wakil dari
semua kabupaten di empat provinsi Indonesia Timur hadir sekaligus
menyatakan dukungan terhadap Permesta.
Beberapa publikasi sejarah menyebut bantuan Amerika untuk Permesta. Seberapa besar bantuan itu?
Omong kosong! Mereka tidak membantu Permesta, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingannya sendiri. Setelah terbukti bahwa Jakarta masih kuat
dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani bukanlah komunis,
mereka meninggalkan kami begitu saja. Tujuan mereka, kan, mencegah blok
komunis makin berkuasa di dunia.
Lo, bukankah Permesta juga antikomunis? Jadi, mengapa Amerika harus
pergi bila alasannya adalah soal komunis?

Ini sebetulnya pilihan politik. Setelah tahu bahwa jenderal-jenderal di
pusat ternyata punya sikap antikomunis yang kuat, Amerika lebih memilih
berpihak ke Jakarta ketimbang daerah.
Jadi, Anda sadar kalau ditunggangi Amerika?
Sadar sekali. Tapi itu hal biasa dalam politik. Rasanya, tidak jauh beda
ketika blok komunis menunggangi kita ketika Indonesia mau merebut
Irianjaya. Yang penting, kan, kita mendapat senjata untuk Operasi
Mandala. Tapi, dalam kasus Permesta, saya tidak merasa telah menjual
diri ke Amerika.
Seberapa besar rasa kecewa Anda terhadap Amerika?
Saya sadar, ini bukan perjuangan mereka. Memang, kalau mereka tidak
pergi, saya yakin kami akan berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami
akan menghabiskan waktu sekitar dua bulan untuk menguasai seluruh
Indonesia.
Bagaimana caranya?
Jakarta adalah titik kunci. Setelah menguasai Banjarmasin, sebetulnya
mudah saja untuk menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah lapangan
terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di
Tanjungpriok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan
lumpuh.
Tampaknya, Anda begitu yakin dengan kekuatan Permesta?
Bagaimana tidak? Saat mendarat di Morotai, Maluku, saya tidak mendapat
perlawanan. Sewaktu mendarat di Banjarmasin, kami juga tidak mendapat
perlawanan.
Masa, TNI akan diam saja kalau Anda mendarat di Jakarta?
Pasukan Siliwangi tidak akan menembak kami. Mereka juga antikomunis.
Lagi pula, orang-orang Siliwangi adalah teman saya. Tahun 1956 kami
melakukan reuni Korps Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di
Bandung. Salah satu keputusan reuni, bila terjadi "apa-apa", kami tidak akan saling menembak.
Mengapa sampai ada kesepakatan itu?
Saat itu kami sudah bisa melihat kondisi ke depan akan gawat.
Ada yang tidak konsisten dengan penjelasan Anda tentang Permesta:
menolak cap pemberontak tapi mengerahkan tentara untuk menguasai wilayah. Apa itu bukan pemberontakan?
Tuntutan yang kami ajukan ke pemerintah pusat dijawab dengan bom di
Ambon. Dan kami menegaskan, kalau Kabinet Djuanda (1957-1959) tidak
dibubarkan, kami tidak akan menaati pemerintah pusat lagi. Menurut kami,
kabinet itu dibentuk secara inkonstitusional.
Tapi hasilnya adalah ironi: Anda melawan hal yang inkonstitusional
dengan cara yang juga tidak konstitusional.
Keadaan mengharuskan kami melakukan perlawanan. Sebagai prajurit
pejuang, kami tidak bisa berpangku tangan melihat keadaan yang ada. PKI
ketika itu mulai membesar. Bung Karno membentuk Dewan Nasional, yang
salah satu kakinya adalah komunis.
Permesta berakhir dengan antiklimaks ini: gagal dan Anda sekalian dicap
pemberontak. Bagaimana perasaan Anda?

Saya pribadi tidak pernah menyesal disebut pemberontak. Kami,
orang-orang yang ikut mempertahankan republik ini, tidak rela kalau
negara kita tidak terurus. Orang seperti Pak Syafrudin
Prawiranegara—presiden PRRI—bukan anak kemarin sore yang mau
ikut-ikutan. Pasti beliau memiliki pertimbangan matang.
Kalau semua rencana berjalan menurut skenario, apa yang akan terjadi?
Kami tidak akan mengganti Bung Karno. Kami hanya menuntut ada kabinet
baru di bawah pimpinan Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX. Selain
itu, kami ingin komunisme dihapus dari Indonesia. Kalau saja usaha
PRRI/Permesta berhasil, pemberontakan PKI pada 1965 tidak akan terjadi.
Jadi, Permesta gagal?
Di atas kertas, ya. Semua sudah disusun dengan baik. Tiba-tiba Allen Pope—anggota angkatan udara Amerika yang membantu PRRI/Permesta—tertembak jatuh di Ambon. Maka, Amerika pun angkat kaki begitu saja.
Sebetulnya, bagaimana proses pendekatan dengan Amerika?
Mereka yang menghubungi kami. Saya dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo
berunding dengan pihak Amerika, yang diwakili Kolonel Collin.
Perundingan berlangsung di Singapura sekitar tahun 1957. Kolonel Collin
ini memang menyembunyikan informasi terhadap George Benson, asisten
khusus duta besar AS (1962-1965) untuk Indonesia. Maka, si Benson jadi
tidak tahu apa-apa perihal dukungan Amerika.
Setelah Permesta kalah, Anda langsung ikut dalam "apel penyerahan diri", yang disaksikan Jenderal Nasution dan Jenderal Yani?
Sampai saat apel, saya tetap tidak mau ikut menyerah. Sekitar 50 ribu
anggota saya sudah menyerah. Saya menunggu perintah dari Pak Syafrudin
Prawiranegara. Saat itu saya ada di hutan. Padahal, hampir semua pasukan
sudah ikut apel.
Benarkah Jenderal Nasution menemui Anda secara pribadi?
Tidak benar. Saya yang menemui Pak Nas di rumahnya di Jakarta. Saya
melapor dan menyerah tanpa syarat, diantar oleh Pak Sunandar.
Dan Anda mengaku memberontak?
Ya, saya mengaku. Tapi saya memberontak terhadap kezaliman. Dan perlu
saya tegaskan lagi: saya tidak pernah menyesal pernah jadi pemberontak.
Apakah Pak Nas marah?
Tidak. Ia hanya mengatakan, saya dan kawan-kawan harus masuk karantina.
Saya dikarantina di Cipayung, Pak Simbolon di Malang, Pak Syafrudin
Prawiranegara di Blora. Karena PKI makin lama makin kuat dan Bung Karno
akan melakukan konfrontasi dengan Malaysia, akhirnya kami semua
dimasukkan ke rumah tahanan militer di Setiabudi, Jakarta.
Mengapa Anda dan kawan-kawan ditahan, sementara Kolonel A.E. Kawilarang
direhabilitasi namanya oleh Bung Karno?

Bung Karno seperti tidak peduli pada orang seperti kami. "Revolusi belum selesai dan tuan-tuan ini adalah penghalang roda revolusi," kata Bung Karno kepada kami. Dan kami kemudian ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ini suatu kesewenang-wenangan.
Barangkali penahanan itu ada kaitannya dengan peristiwa granat di
Cikini, yang ingin menghabisi Bung Karno?

Isu itu memang sengaja diembuskan orang-orang komunis. Kami orang-orang
daerah yang dituduh, padahal kami sangat menghargai Bung Karno.
Bagaimana pengalaman dalam karantina?
Kesedihan sebagai pejuang yang dikarantina tidak bisa dimungkiri,
kendati kita tinggal di bungalow di Cipayung. Namun, Pak Yani selalu
berusaha memberi semangat, "Ini cuma soal politik. Kalau hari ini tidak punya harga, siapa tahu besok harganya naik tiga kali lipat," kata Pak Yani kepada saya. Tatkala saya masuk tahanan militer, 1963-1966, Pak
Yani tidak pula meninggalkan kami. "Tunggu saja waktunya," begitu ujarnya, sering-sering.
Antara 1963 dan 1966 Anda harus pindah dari bungalow Cipayung ke tahanan militer Setiabudi. Mengapa?
Kami harus masuk sel pada saat Komando Dwikora yang ingin mengganyang
Malaysia dikumandangkan. Mungkin pihak Angkatan Darat merasa tidak
sanggup bila harus mengawasi kami. Selain itu, desakan kaum komunis
makin kuat. Saya, Simbolon, Ahmad Husein, Syafrudin Prawiranegara, Mr.
Asaat, dan Anak Agung Gede Agung tinggal di blok yang sama. Pada 1965,
kami pun harus satu tahanan dengan orang-orang PKI yang sangat kami tentang.
Ironis betul?
Memang ironis. Namun, saya katakan kepada kawan-kawan, sebaiknya kita
tidak mempersoalkan sebab-sebab penahanan mereka. Karena, saat berada
dalam satu tahanan, berarti kita satu nasib.
Anda dibebaskan hanya sehari setelah Pak Harto jadi presiden. Bagaimana prosesnya?
Pada 26 Juli 1966, seorang jaksa bernama Adnan Buyung Nasution datang ke
rumah tahanan. Buyung membacakan surat pembebasan kami.
Apakah Pak Harto pernah menghubungi Anda sebelum itu?
Ali Moertopo, asisten Pak Harto, sering menghubungi kami di tahanan. Dia
mencari orang berpengalaman tapi harus antikomunis. Maka, begitu jadi
presiden, Pak Harto langsung membebaskan kami. Pihak keluarga pun tidak
tahu. Sewaktu keluarga saya berkunjung, polisi militer yang menjaga di
depan tahanan mengatakan agar keluarga membawa saya pulang. Itu
betul-betul kejutan, ha-ha-ha....
Bukankah Anda dan Pak Harto kenalan lama
Benar. Saya jadi anak buahnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
(NB: saat itu Ventje Sumual sebagai Komandan SWK-103A/WK-III,
sedangkan Presiden Soeharto sebagai Komandan SWK-103C/WK-III di Jogjakarta)

Benarkah Pak Harto terlalu membesarkan jasanya dalam peristiwa tersebut?
Itu tidak benar.
Bahwa selama 32 tahun ia berkuasa ada penyimpangan, itu soal lain. Tapi ia memiliki kemampuan.
Apakah Pak Harto kemudian membantu kehidupan Anda?
Persoalan tidak selesai begitu saja. Selama setahun, masing-masing kami
harus mencari hidup sendiri. Kemudian saya ditugasi ke luar negeri
bersama Pak Ali Moertopo, Yoga Soegama, Benny Moerdani, untuk ke Bangkok
menyiapkan pembentukan ASEAN.
Apakah Anda dipilih karena punya hubungan dengan Sekjen SEATO (Organisasi Pertahanan Asia Tenggara)?
Saya memang sebelumnya sudah kenal Sekjen SEATO, Jenderal Targas, di
Filipina. Ketika itu, pembentukan ASEAN hampir gagal karena Filipina
menolak kesepakatan soal pangkalan asing yang bersifat temporer.
Untunglah, karena saya kenal Jenderal Targas itu, dia bisa memberi
masukan kepada Ferdinand Marcos agar setuju dengan prinsip temporer
untuk pangkalan asing.**
(Tempo).

Sumber: http://www.khatulistiwamgz.com/Jan/wawancara.htm



 
Sumber: http://eltelu.blogspot.com/2013/02/cara-menambahkan-widget-baru-di-sebelah.html#ixzz2O8AYOBCu